Terapi Berfikir Positif
Kamis, 28 April 2016 by Unknown in Label:

Dapatkah kita berhenti berpikir? Sementara untuk berhenti berpikirpun, kita  harus berpikir. Dalam pikiran kita, baik saat itu senang, sedih, marah, bahagia, dan lainnya tersimpan dalam tiap memori pikiran kita. Pikiran membentuk pola pikir seseorang benar atau salah. Seperti misalnya mempengaruhi intelektualitas seseorang, ketika kita meyakini bahwa kita mampu menangkap suatu pengetahuan misalnya, maka hasilnya kita pasti akan bisa. Dalam buku Dr. Ibrahim Elfiky yang berjudul Terapi Berpikir Positif, termuat tentang pengaruh dan kekuatan pikiran. Diantaranya :


  1)     Pikiran mempengaruhi fisik dan kondisi kesehatan seperti yang dapat kita lihat sehari-hari atau terjadi dalam masyarakat, misalnya ketika seseorang terlalu banyak berfikir, bekerja terlalu keras, pola makan yang tidak teratur  hasilnya adalah seperti timbulnya berbagai penyakit jantung, stroke, diabetes dan lain-lain.
  2)     Pikiran mempengaruhi kondisi kejiwaan dan citra diri. Misalnya penilaian terhadap diri sendiri ketika seseorang menilai seorang wanita gemuk, maka wanita tersebut terus menerus memikirnya dan berusaha untuk membentuk tubuh yang proporsional.
  3)     Pikiran membangun optimisme. Misalnya saat kita mengetahui sesuatu dan memberi tahu orang lain, hasil dari pengetahuan tersebut diapresiasi oleh orang lain hingga menimbulkan rasa percaya diri untuk lebih mempelajari sesuatu yang lain dan memberitahukan lagi. Dan begitu seterusnya.
  4)     Pikiran tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kita bisa memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.  Juga tidak terbatas ruang atau jarak. Misalnya kita berpikir untuk berlibur keliling eropa dan membayangkan tempat-tempat yang bisa dikunjungi ketika melihat hasil foto di artikel tertentu mengenai lokasi wisata tersebut.
  5)     Pikiran melahirkan kebiasaan. Misalnya seperti ketika kita menyusun agenda kegiatan untuk tiap harinya. Ketika saya berpikir untuk melakukan kegiatan tersebut secara rutin, maka akan lahirlah suatu kebiasaan.
  6)     Pikiran mempengaruhi alam bawah sadar. Seperti  saat kita mencintai seseorang, tanpa disadari kita memikirkan orang tersebut dan bisa terbawa ke dalam mimpi.

Konsepsi Berpikir Negatif
            Dengan memiliki akal untuk kita berpikir, bukan berarti kita sudah sempurna. Karena bisa saja kita terjebak kepada penyakit berpikir, atau lebih tepatnya berpikir negatif.  Adapun faktor-faktor penyebab berpikir negatif seperti jauh dari Tuhan, pengalaman buruk, tidak jelasnya tujuan, rutinitas negatif, inferior dan  lingkungan yang negatif. Dampak dari berpikir negatif tersebut membuat kita berkata-kata negatif seperti berbohong, mencela bahkan memfitnah.  Hingga membuat perilaku, kebiasaan bahkan takdir kita juga ikut-ikutan negatif. Solusinya hanya satu, mulailah menerapkan terapi berpikir positif. 
Masalah dan kesengsaraan hanya dalam persepsi. Maksudnya, masalah hanya ada dalam diri manusia itu sendiri, masalah sepele menjadi berbeli-belit karena persepsi yang berlebihan mengenai masalah tersebut. Tuhan tidak akan menutup satu pintu kecuali karena Dia membuka pintu yang lebih baik untuk kita. Kita terkadang terlalu berpatokan dan mengharapkan pada satu pintu dan tidak mencoba pintu yang lain yang sebenarnya lebih baik untuk kita. Baiknya, kita belajar dari masa lalu, hidup untuk hari ini, dan merencanakan masa depan. Seburuk atau sebaik apapun masa lalu adalah sebuah pelajaran sehingga kita bisa menjalani hidup pada hari ini, sehingga untuk ke depannya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. 
Tanpa diberitahu pun, kita semua sepakat bahwa berpikir negatif itu buruk dan berpikir positif itu baik. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimanakah terapi berpikir positif itu? Masih dalam buku yang sama, Dr. Ibrahim Elfiky berbagi petunjuk untuk berpikir positif. Berikut petunjuknya;
1)     Optimisme; Lakukanlah semuanya dengan sepenuh hati. Kejar terus sampai berhasil.
2)     Menentukan tujuan; hendak kemana kita ini? Dalam menulis tulisan inipun, penulis memiliki tujuan mengapa harus menulis.
3)     Rutinitas Positif; Pergunakan waktu dengan mengikuti kegiatan yang bermanfaat dan tentunya dengan lingkungan yang positif.
4)     Refleksi Diri; maksudnya, kita meluangkan waktu untuk merenungi apa kesalahan atau masalah kita dan bagaimana cara untuk memperbaikinya. Refleksi diri sama halnya dengan dzikir, meditasi, bertapa atau merenung.

Semoga tulisan tentang berpikir positif ini membawa perubahan positif bagi Anda yang membacanya. Karena apa yang engkau pikirkan akan kembali padamu. Segalanya berawal dari pikiran, menuju perasaan, dan berakhir  kepada tindakan, maka hati-hatilah terhadap pikiran dan perasaan, sebab hal itu menarik apapun yang dipikirkan. Maka, pikirkanlah sebelum kita mengawali segalanya!

Pikiran adalah kekuatan yang sangat efektif. Tanpanya, setiap kekuatan hanya besar saja- Victor Hugo.

KONSTITUSI BERBASIS KEADILAN SOSIAL
by Unknown in Label:

Jika batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut konstitusi, merupakan raga bagi bangunan konstitusional bernegara Indonesia, maka Pancasila yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan jiwa yang menjadi nilai untuk menghidupi seluruh raga konstitusi Indonesia. Seperti dalam gubahan lagu nasional Indonesia, “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya. Maka untuk membangun Indonesia Raya, bangunkan dulu Pancasila yang merupakan rohnya, kemudian bangunkan pasal-pasal konstitusi (batang tubuh) yang menjadi raganya. Jiwa dapat bergerak dan bermanfaat di dunia dengan adanya raga sebagai wadah. Dan raga hanya dapat bergerak dan bermanfaat di dunia jika digerakkan oleh jiwa sebagai pengendali. Jiwa terbatas tanpa raga. Raga tak berdaya tanpa jiwa. 

Membangun Jiwa Konstitusi

            Sebelum turun pada aspek normatif dalam konstitusi, dibutuhkan pemahaman terhadap aspek prinsipil dalam konstitusi itu sendiri. Karena aspek normatif yang berisi kaidah, seperti pada batang tubuh UUD 1945, merupakan perwujudan konkret dari aspek prinsipil yang berisi nilai-nilai dasar, universal, dan cita-cita luhur dalam berbangsa dan bernegara. Kelima prinsip dari Pancasila dan keempat tujuan bernegara termaktub dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Itu berarti, pasal-pasal dalam konstitusi Indonesia harus koheren dengan prinsip-prinsip yang ada pada Pancasila. Maka, membangun raga konstitusi dalam setiap pasal-pasal konstitusi harus koheren dengan jiwa dari konstitusi itu sendiri. Tepatlah jika dinyatakan bahwa konstitusi Indonesia merupakan konstitusi berbasis Ketuhanan, konstitusi berbasis Kemanusiaan, konstitusi berbasis Kebangsaan, konstitusi berbasis Kerakyatan, dan konstitusi berbasis Keadilan sosial. Dalam tulisan kali ini, penulis spesifik membahas konstitusi berbasis keadilan sosial. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk dijawab adalah; bagaimanakah konsepsi keadilan sosial dapat terbentuk dan termaktub dalam konstitusi Indonesia? Dan bagaimana pula perwujudan konstitusi berbasis keadilan sosial tersebut dalam lapangan tanah air Indonesia?

Konsepsi Keadilan Sosial

Terjadinya konflik kepentingan dikarenakan pembagian keuntungan yang tidak merata antara aktor kontrak sosial. Ada yang kerja sedikit, menuai banyak hasil. Sebaliknya, ada yang kerja banyak, menuai sedikit hasil. Di sinilah pentingnya konsepsi keadilan dan institusi keadilan dalam mewujudkan keadilan an sich. Jika keadilan adalah subyek dalam sistem sosial, maka apa sebenarnya subyek atau bahasan utama dalam keadilan itu sendiri? John Rawls menyatakan bahwa subyek keadilan bergantung pada penerapan hak dan kewajiban.[1]

Keadilan sebagai cita-cita bersama dalam suatu masyarakat dapat diwujudkan dengan adanya kontrak sosial, di mana dalam kontrak sosial tersebut setiap individu dapat menentukan manakah yang adil dan yang tidak adil. Kesetaraan sebagai posisi asali setiap individu ini penting mengingat kedudukan manusia sebagai makhluk yang rasional. Hasil dari kontrak sosial tersebutlah yang akan menentukan bagaimana prosedur perwujudan keadilan dan bagaimana pula sampai pada substansi keadilan.

Sederhananya, keadilan adalah penuntasan hak dan kewajiban. Rincinya, keadilan adalah memberikan hak orang lain yang menjadi kewajiban diri dan menerima hak diri yang menjadi kewajiban orang lain. Dalam hukum, keadilan merupakan salah satu tujuan, di mana keadilan tersebut haruslah pula mencerminkan kemanfaatan dan utamanya kepastian hukum. Menurut Hans Kelsen, sudah lazim bila kita melawankan konsep "kewajiban" dengan konsep "hak," dan memberikan prioritas peringkat kepada hak. Dalam lingkup hukum, kita berbicara tentang "hak dan kewajiban," dan bukan "kewajiban dan hak," seperti halnya dalam lingkup moral, di mana penekanan yang lebih besar diberikan kepada kewajiban; dan kita berbicara tentang hak sebagai sesuatu yang berbeda dari hukum.[2]

Keadilan Sosial dalam Pancasila

Mewujudkan suatu keadilan berarti menuntuskan hak dan kewajiban. Di samping hak dan kewajiban manusia sebagai suatu individu, tidak kalah penting pula kedudukan hak dan kewajiban manusia sebagai suatu makhluk sosial. Maka, selain terdapat hak dan kewajiban individu, terdapat pula hak dan kewajiban sosial, yang mana dengan penuntasan hak dan kewajiban sosial itulah baru dapat diwujudkan suatu keadilan sosial. Konsepsi keadilan sosial menyimpan sejarah yang panjang sehingga dapat masuk dalam suatu susunan Pancasila yang digagas oleh Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya.

Telah sampai umat manusia pada suatu zaman di mana setiap rakyat dapat menentukan pilihannya sendiri, dapat menentukan arah kebijakan publik, bahkan dipilih untuk menjadi pemimpin rakyat tersebut. Inilah zaman demokrasi. Di mana kekuasaan mutlak pada satu orang, semisal raja, tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman tersebut. Tetapi, pertanyaannya kemudian apakah dengan demokrasi politik yang dimaksud dapat meningkatkan kesejahteraan hidup para rakyat tersebut. Maka tepatlah perkataan Adler yang sering dikutip Bung Karno itu, bahwa jangan memberikan Undang-Undang Dasar pada seseorang yang tengah lapar. Itu berarti, demokrasi politik saja tidak cukup, dibutuhkan pula demokrasi ekonomi.


Demokrasi politik yang secara de jurie diperoleh rakyat Indonesia setelah revolusi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 tidak diiringi dengan kedaulatan rakyat untuk betul-betul merdeka secara politik, atau meraih demokrasi politik secara de facto. Baru pada reformasi tahun 1998, hak-hak politik rakyat sepenuhnya berdaulat, setelah sebelumnya dibredel, dibungkam, diasingkan, dan dilucuti oleh rezim pelbagai orde. Tetapi, demokrasi politik tidak serta merta mendatangkan demokrasi ekonomi. Rakyat memang merdeka memilih dan dipilih, tetapi rakyat yang tidak memiliki rumah tetap saja tidak dapat beristirahat dengan tenang, tetap saja kelaparan, tetap saja miskin dan tidak sejahtera.[3]

Singkatnya, hak-hak politik tidak berjalan berkelindan dengan hak-hak ekonomi setiap warga negara dalam menikmati kekayaan Negara. Semestinya, demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi sehingga tercipta suatu demokrasi sosial. Sila keempat bertujuan untuk mewujudkan sila kelima. Maka, demokrasi politik, ekonomi dan sosial tersebut bertujuan untuk mewujudkan keadilan politik, keadilan ekonomi, dan keadilan sosial. Praktis, dibutuhkan suatu konstitusi yang tidak sekadar memuat kaidah berpolitik negara seperti konstitusi Amerika. Namun juga memuat kaidah berekonomi negara dengan pasar, dan juga kaidah kesejahteraan sosial yang disenggelarakan negara kepada segenap masyarakatnya. Setelah amandemen keempat perubahaan keempat pada tahun 2002, konstitusi Indonesia dapatlah dikategorikan sebagai konstitusi universal yang memuat kaidah politik bernegara, kaidah ekonomi berbisnis, dan kaidah sosial bermasyarakat.

Keadilan Sosial dalam Pasal Konstitusi

Dalam kelima prinsip yang ada pada Pancasila, dapat dinyatakan bahwa Sila Keadilan sosial merupakan sila yang paling konkret dan merupakan sila yang menjadi tujuan prinsipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk apa kita mengesakan Tuhan? Agar kita dapat berlaku adil baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Untuk apa kita menjadi manusia? Agar kita dapat berlaku adil dan beradab yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Untuk apa kita bersatu sebagai suatu bangsa Indonesia? Agar kita dapat berlaku adil bagi komunitas impian kita yang dipersatukan oleh kesamaan nasib pada masa lalu, perjuangan pada masa kini, dan harapan pada masa depan. Untuk apa kita menjunjung demokrasi? Agar kita semua dapat berlaku adil dalam menghargai setiap hak-hak individu dan hasil keputusan bersama. Jelaslah, bahwa setiap sila memang diperuntukkan demi tercapainya keadilan sosial dalam bermasyarakat, berbangsa, bermanusia, dan bertuhan.

Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita sebut sebagai Konstitusi Keadilan Sosial (Social Justice Constitution), sehingga semua norma yang tercermin dalam pelbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen kebijakan tertulis lainnya, dan semua tindakan-tindakan pemerintahan yang tercermin dalam program-program pembangunan disertai anggaran pendapatan dan belanja Negara dan daerah masing-masing, hendaklah diorientasikan untuk meningkatkan kualitas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[4]

Konstitusionalisasi Keadilan Sosial

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 bab XIV tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, dijelaskan secara gamblang bahwa negara Indonesia merupakan negara kesejateraan sosial. Atau yang oleh Hatta sebut sebagai negara pengurus. Maka, sudah menjadi tugas dari penyelenggara negara untuk memperdekat jarak antara kesenjangan si kaya dan si miskin.  Bab tersebut juga mengatur tentang haluan kebijakan jaminan sosial nasional. Mewujudkan konstitusi berbasis keadilan sosial tersebut dapat disebut dengan istilah konstitusionalisasi keadilan sosial, yaitu upaya mewujudkan konstitusi berbasis keadilan sosial, baik dalam bentuk perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar, maupun dalam ranah praktik berbangsa dan bernegara.

Undang-Undang merupakan produk demokrasi atau produk kehendak orang banyak, lebih tepatnya. Meskipun telah memenuhi prosedur berdemokrasi, misalnya telah disetujui oleh DPR dan Presiden, suatu Undang-Undang belum tentu memenuhi suaru keadilan dan kebenaran konstitusi. Suara mayoritas tidak identik dengan keadilan dan kebenaran konstitusi. Maka, jika bertentang dengan Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi, suatu Undang-Undang dapat dinyatakan tidak mengikat secara umum, meski hanya disetujui oleh 5 dari 9 hakim Mahkamah Konstitusi. Melalui peradilan konstitusi ini ditegaskan bahwa Undang-Undang Dasar dapat benar-benar ditegakkan dalam praktik penyelenggaran negara. [5]

Jika suatu undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau konstitusi, maka pihak yang berhak mengajukan permohonan pengujian Undang-udang adalah: (i) perorangan atau kelompok warga negara; (ii) kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia; (iii) badan hukum privat atau badan hukum publik; atau (iv) lembaga negara.[6]

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bahwa keempat subyek hukum tersebut dapat membuktikan dirinya mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang atau ketentuan undang-undang yang bersangkutan sehingga ia memohon agar undang-undang atau bagian dari ketentuan undang-undang dimaksud dinyatakan tidak mengikat secara umum.

Demi kesejahteraan dan kemakmuran nasional, segala kebijakan publik haruslah taat terhadap aturan hukum, utamanya konstitusi. Kebijakan publik yang tidak berdasar pada konstitusi sebagai aturan hukum tertinggi merupakan sebuah penyimpangan terhadap ideologi dan konstitusi. Penyimpangan tersebut dapat diamati dari kecenderungan pembangunan hukum ekonomi dalam realitas sosial Indonesia, dewasa ini. Penyimpangan yang dilakukan oleh pengambil kebijakan mengarahkan pembangun hukum ekonomi Indonesia pada persetujuan World Trade Organization, suatu organisasi perdagangan internasional, yang mana di dalamnya terdapat keinginan-keinginan pihak asing yang tidak jarang bertentangan dengan Konstitusi Negara Indonesia. Persoalan tersebut diperparah jika kesepakatan dalam organisasi dagang internasional tersebut diratifikasi dalam perundang-undangan Negara Indonesia, mulai dari Peraturan Daerah, Undang-Undang, atau bahkan hingga pada amandemen Undang-Undang Dasar dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

    Asumsi tersebut dapat dibuktikan dari beberapa Undang-Undang dalam bidang hukum ekonomi yang diuji materil oleh banyak pihak kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Walhasil, setelah melakukan penafsiran Undang-Undang yang dimaksud terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membatalkan beberapa Pasal dalam Undang-Undang tersebut karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

    Adapun Undang-Undang yang dimaksud antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21-22/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 002/PUU-I/2003, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 03/PUU-VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 036/PUU-X/2012.[7]

    Lima Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tersebut, dapat dijadikan bukti betapa menyimpanganya pembangunan hukum ekonomi Konstitusi sebagai aturan hukum tertinggi Negara Republik Indonesia. Bahwa betapa pihak asing yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan yang kurang sadar secara ideologis dan konstitusional telah mengarahkan pembangunan hukum ekonomi Indonesia ke arah yang tidak semestinya. 

Penutup

Bahwa konsepsi keadilan sosial dapat terbentuk dan termaktub dalam konstitusi Indonesia melalui perjuangan panjang dan pergolakan pemikiran pendiri bangsa Indonesia yang menciptakan Pancasila sebagai jiwa konstitusi dan Pasal-Pasal UUD 1945 sebagai raga konstitusi, yang kemudian telah disempurnakan melalui amandemen hingga yang keempat kalinya pada tahun 2002. Adapun perwujudan konstitusi berbasis keadilan sosial dalam lapangan tanah air Indonesia telah dirinci dalam beberapa undang-undang dan kebijakan publik sebagai praktik penyelanggaraan negara. Ketika suatu kebijakan publik bertentangan dengan konstitusi, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi. 

Maka, saran penulis agar kiranya pembangunan hukum ekonomi yang merupakan bagian dari kebijakan publik demi keadilan sosial harus sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi yang ada pada Pancasila dan Pasal-Pasal Konstitusi. Dan agar kiranya segenap bangsa Indonesia memperdalam keilmuan dan mengamalkan keilmuan tersebut, khususnya keilmuan konstitusi Pancasila demi mewujudkan tujuan bernegara Indonesia.


[1] John Rawls. Teori Keadilan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2011, hal 8.
[2] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni. Nusa Media, Bandung. 2014, hal 143.

[3] Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta. 1964, hal 487.
[4] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial. LP3ES, Jakarta. 2015, hal 89.
[5] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2014, hal 271.
[6] Mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia lihat dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Adapun untuklegal standing pemohon lihat Pasal 51 UU. No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[7] Candra Irawan, Dasar-Dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia. Mandar Maju, Bandung. 2013, hal v.