Alam
Semesta atau jagat raya dapat dipahami dengan konsepsi ilmiah,
filosofis dan religius. Konsepsi ilmiah bersifat partikular dan
spesifik. Karena keterbatasannya, konsepsi ilmiah saja tidak cukup untuk
memahami alam semesta. Diperlukan konsepsi lain, tentunya. Konsepsi
filosofis bersifat universal dan internal. Meskipun konsepsi filosofis
dapat memahami alam semesta dengan universal (menyeluruh), namun
sifatnya yang internal (murni spekulasi akal) bisa saja disubyektivikasi
oleh beberapa subyek tertentu. Olehnya itu diperlukan konsepsi religius
untuk dapat memahami alam semesta secara menyeluruh dan eksternal.
Konsepsi religius yang bersifat eksternal merupakan konsepsi tentang
alam semesta yang berasal dari luar diri manusia, yaitu wahyu Tuhan.
Ketiga konsepsi di atas, jika dikombinasikan dapat melahirkan suatu
konsepsi paripurna tentang alam semesta.
KARAKTERISTIK ALAM SEMESTA
Alam Semesta memiliki beberapa ciri;
1. Terbatas, hal ini dikarenakan alam semesta terlingkupi oleh ruang dan waktu.
2.
Dinamis, karena ia terbatas, ia harus menuju sesuatu Yang Tak Terbatas
untuk melepaskan keterbatasannya. Perjalanannya tersebut meniscayakan
adanya gerak. Terlepas apakah gerak itu progresif (menyempurna) atau
justru regresif (terhambat).
3. Bergantung, alam semesta yang
terbatas ini pasti bergantung pada sesuatu Yang Tidak Terbatas dan
Penggerak Utama yang Tidak Bergerak.
4. Tersusun, alam semesta bersifat jamak karena tersusun dari beberapa unsur.
Alam
Semesta analogi kitab. Dengan memahaminya, kita akan memahami pencipta
kitab tersebut. Alam Semesta disebut pula sebagai ayat kauniyah.
Sementara kitab suci disebut sebagai ayat kauliyah. Alam Semesta disebut
sebagai kitab suci secara kontekstual. Sementara kitab suci disebut
sebagai alam semesta secara tekstual.
MANUSIA SEBAGAI MICROCOSMOS
Jika
alam semesta adalah macrocosmos, manusia disebut sebagai microcosmos.
Pertanyaannya kemudian, mengapa alam semesta yang besar ini dapat
dipimpin (khalifah) oleh manusia yang kecil? Secara aksidental, alam
semesta memang besar, namun secara substansial alam semesta jauh lebih
kecil dibanding manusia. Macrocosmos tidak memiliki kehendak bebas dalam
dirinya. Sementara manusia memiliki kehendak bebas tersebut.
TUGAS KEMANUSIAAN
Memanusiakan
manusia adalah memberikan teladan pengetahuan dan agama baik pada diri
sendiri, maupun manusia lain. Dari proposisi tersebut, kami menemukan 4
tahap evolusi kemanusiaan.
1. Yang terburuk adalah ia yang tidak
bahagia ketika berpengetahuan dan beragama. Inilah yang tidak bahagia
menjadi manusia. Tidak bahagia memanusiakan dirinya sendiri. Pada
hakikatnya, ia bukan manusia.
2. Ada yang bahagia ketika hanya
dirinya yang berpengetahuan dan beragama. Ia hanya memanusiakan dirinya.
Pada tahap ini, ia baru menjadi setengah dari setengah hakikat manusia.
3.
Ada yang bahagia ketika ia memberi teladan pengetahuan dan agama pada
manusia lain, tapi tidak bahagia ketika manusia lain yang melakukannya.
Ia bahagia memanusiakan manusia, tapi tidak bahagia melihat manusia lain
memanusiakan manusia. Pada tahap ini, ia baru menjadi setengah hakikat
manusia.
4. Yang terbaik adalah yang bahagia ketika memanusiakan
dirinya, memanusiakan manusia dan melihat manusia lain memanusiakan
manusia. Pada tahap ini, ia telah menjadi manusia yang hakiki.
Seperti
kata Eduard Douwes Dekker, tugas manusia adalah menjadi manusia. Inti
dari manusia adalah pengetahuan dan agama. Inti dari pengetahuan adalah
kebijaksanaan (filosofis) dan kemanfaatan (ilmiah). Sementara inti dari
agama adalah akhlak yang baik. Intinya, untuk dapat dikatakan sebagai
manusia yang inti, ia harus bijaksana, bermanfaat dan berakhlak yang
baik.
TUHAN SEBAGAI METACOSMOS
Segala sesuatu yang bukan
alam semesta, namun segala sesuatu tentang alam semesta merupakan bagian
darinya, itulah pengertian metacosmos. Tuhan disebut pula hakikat
keberadaan (eksistensi substansial) yang jika Ia tidak ada, maka
segalanya ikut meniada. Posisi alam semesta jika dikaitkan dengan alam
semesta hanyalah aksiden dari aksiden. Tanpa alam semesta, Tuhan masih
memiliki sifat lain selain Maha Mencipta. Karena Maha Mencipta pun
ternyata sifat yang aksiden (turunan), disamping Maha Kuasa, Maha
Mengetahui dan Maha Kekal yang menjadi sifat Tuhan yang Dzatiyah
(substansial).
PANCASILA DAN ALAM SEMESTA
Dari beberapa
argumentasi di atas, kita yang merupakan bagian alam semesta yang
aksiden ini, tidak dibenarkan lagi untuk bersikap tidak manusiawi
(angkuh), terpecah-belah, tidak bijaksana dalam memimpin dan tidak adil
dalam kehidupan sosial. Karena kita semua berasal dari satu Realitas
Tunggal dan Mutlak, Eksistensinya Eksistensi, Pencipta Segala Sesuatu.
Pancasila menyebutnya; KETUHANAN YANG MAHA ESA.