ASAS-ASAS HUKUM PIDANA (Bag. 1)
Rabu, 04 Februari 2015 by Unknown in Label:

A. PENGERTIAN
Asas adalah konsep hakiki yang menjadi acuan dari ilmu pengetahuan, penulis sebut sebagai Konsep Tunggal. Ilmu pengetahuan yang didalamnya ada hukum, ekonomi, kedokteran dan lain-lainya kemudian memiliki asas-asas yang penulis sebut sebagai Konsep Majemuk, seperti Asas Kausalitas. Selanjutnya Konsep Majemuk terbagi lagi bilamana sudut pandang ilmu pengetahuan dilihat dari ilmu masing-masing. Dalam hal ini, sudut pandang penulis adalah ilmu pengetahuan hukum sehingga penulis menyebutnya sebagai Konsep Majemuk yang Tunggal atau Konsep Tunggal dalam Ilmu Pengetahuan Hukum, yaitu Asas Hukum. Konsep Majemuk yang Tunggal lalu menjadi Konsep Majemuk yang Majemuk atau Konsep Majemuk dalam Ilmu Pengetahuan Hukum, contohnya : Asas-Asas Hukum.


Konsep Majemuk yang Majemuk atau Konsep Majemuk dalam Ilmu Pengetahuan Hukum kemudian terbagi dua, yaitu : Konsep Majemuk yang Majemuk Umum seperti Asas Legalitas yang merupakan asas yang berlaku secara umum dalam ilmu pengetahuan hukum dan Konsep Majemuk yang Majemuk Khusus seperti Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld) yang hanya berlaku pada ilmu pengetahuan hukum pidana saja. Setelah menjadi Konsep Majemuk maka untuk menjelaskan dirinya, penulis menyebut dengan Konsep Teoritis atau yang kita ketahui sebagai Kaidah atau Norma. Konsep Teoritis yang menjelaskan dirinya sebagaimana adanya selanjutnya menjadi Konsep Praktis yang menjelaskan dirinya sebagaimana mestinya yang penulis artikan sebagai ketentuan pidana atau aturan, seperti Pasal 1 ayat 1.

Selanjutnya mengenai pengertian dari Hukum Pidana, penulis mengutip pendapat Mr. Moeljatno, Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1.    Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
2.    Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan;
3.    Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Pada proposisi “bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku” menandakan bahwa hukum itu terbagi-bagi seperti Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan lain-lainnya yang penulis sebut sebagai Konsep Majemuk yang Majemuk Khusus. Kemudian dengan proposisi tersebut, hukum digolongkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu : Golongan Hukum Privat yang mengatur hubungan antara negara dengan perseorangan atau kepentingan umum dan Golongan Hukum Publik yang mengatur hubungan atau kepentingan antara.perseorangan. Lalu frasa “dasar-dasar” berarti menunjukkan konsep teoritis dan konsep majemuk. Sedangkan pada frasa “aturan-aturan” berarti menunjukkan konsep praktis.
Pada point 1) proposisi “menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan” adalah obyek dari hukum pidana sendiri yaitu perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana (criminal act) berdasar undang-undang yang berlaku (principle of legality atau Asas Legalitas). Pada proposisi “ancaman atau sanksi berupa pidana” terejawantahkan dalam Pasal 10 KUHP yang memuat Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pada proposisi “barang siapa melanggar” berarti membahas tentang yang dapat dikatakan sebagai “subyek” perbuatan pidana seperti orang, badan hukum dan pejabat negara.
Pada point 2) kata “kapan” menandakan waktu dan tempat perbuatan pidana terjadi. Seperti yang penulis ketahui tempat dalam arti “lex loci delicti” berarti memuat asas Teritorial, asas Kebangsaan atau Personal aktif, asas Perlindungan atau Personal Pasif, dan asas Persamaan atau Universalitas. Sedangkan tempat dalam arti “locus delicti” berarti memuat tempat dimana pelaku melakukan perbuatan pidana, tempat dimana alat yang digunakan dalam perbuatan pidana bekerja, tempat dimana akibat langsung perbuatan pidana timbul, dan tempat dimana suatu akibat konstitutif terjadi. Pada proposisi “dalam hal apa” dan “dapat dikenakan atau dijatuhi pidana” berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dari subyek hukum pidana yang dapat menghasilkan alasan pemaaf, dan mengenai perbuatan pidana (criminal act) dari obyek pidana yang menghasilkan alasan pembenar.
Pada point 3) proposisi “cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan” mengartikan sebuah proses dalam arti peradilan mana yang memiliki kompetensi absolut dan pengadilan mana yang memiliki kompetensi relatifnya. Proposisi tersebut juga biasa disebut sebagai Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana (criminal procedure)
B. ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA
Hukum pidana adalah bagian khusus dari ilmu pengetahuan hukum yang memiliki asas-asas yang penulis sebut sebelumnya sebagai Konsep Majemuk yang Majemuk Khusus. Obyek dari Hukum Pidana adalah perbuatan pidana (criminal act) yang diatur dalam undang-undang dalam suatu negara (principle of legality) atau biasa disebut Hukum Pidana Positif. Tujuan dari Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana adalah menyelidiki pengertian obyektif dari hukum pidana positif. Penyelidikan yang dimaksud melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu ; interpretasi, kontruksi dan sistematik.
Disamping hukum pidana dengan obyek perbuatan sesuai undang-undang yang berlaku, ada ilmu pengetahuan yang sangat membantu pengembangan hukum pidana itu sendiri yaitu Kriminologi yang berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang sebab-sebab kejahatan terjadi dan cara menanggulanginya. Dalam negara Anglo Saxon, Kriminologi pada awalnya dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu; criminal biology yang meneliti pribadi pelaku perbuatan pidana baik secara jasmani maupun rohani, criminal sociologyyang meneliti lingkungan pelaku perbuatan pidana, dan criminal policy yang meneliti tindakan yang harus dilakukan agar pelaku dan perbuatan pidana tidak terjadi.
Pada negara Eropa Kontinental, Kriminologi mencakup beberapa bagian, antara lain; criminele anthropologie yang meneliti gejala pribadi si penjahat secara jasmani, suku, agama, dan ras, criminele sociologie yang meneliti gejala kemasyarakatan, criminele psychologie yang meneliti gejala kejiwaan perbuatan, criminele psycho-en neuro-pathologie yang meneliti gejala penyakit kejiwaan dan saraf, poenologie yang meneliti timbul dan perkembangan hukuman serta arti dan kegunaan,  criminele politiek yang meneliti penerapan kriminologi, dan criminalistiek yang meneliti teknik-teknik kejahatan.
C. ASAS ASAS HUKUM PIDANA           
Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia pada mulanya ialah kodifikasi dari undang-undang hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht Ned.Indie,1918). Hal ini termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) atau Undang-undang No.1 Tahun 1946. Hal ini juga disebut sebagai asas Concordansie dan keberlakuannya di Indonesia dikenal sebagai penerapan asas Unificatie tetapi hanya sebagian wilayah Indonesia yaitu jawa dan Madura. Hingga adanya ketentuan Undang-undang No.78 Tahun 1958 yang menyatakan bahwa KUHP berlaku diseluruh wilayah Indonesia.
Selanjutnya, setelah asas konkordansi sebagai pembentukan peraturan dalam KUHPidana dan asas unifikasi sebagai pemberlakuan dari peraturan dan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada asas yang paling penting bahkan bisa dibilang yang paling utama yaitu asas Legalitas yang tertuang pada Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP serta mengandung 3 (tiga) makna, antara lain ;
1.    Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidanakan tanpa adanya peraturan undang-undang sebelumnya,
2.    Untuk menentukan perbuatan pidana, tidak boleh menggunakan analogi,
3.    Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut.
Bunyi pada point 1) begitu tegas sehingga wajar saja jika ada adagium “Lex dura sed tamen scripta” yang berarti hukum tegas begitulah bunyinya. Pada point 2) merupakan metode kontruksi yang digunakan dalam perkara perdata bukan pada perkara pidana, dikarenakan jenis kontruksi ini tidak berpegang pada bunyi teks undang-undang atau biasa disebut metode “argumentum per analogiam”. Pada point 3), tidak berlaku surut atau biasa disebut asas non-rectroactive yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai pengecualian asas legalitas menimbulkan asas “voordelig” atau yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa.

Daftar Pustaka
1. Rusli Effendy dan Poppy Lolo, Azas-azas Hukum Pidana, Leppen UMI, Makassar, 1989
2. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008
3. P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011
4. Diskusi Orasi (Organ Studi dan Aktualisasi Pancasila) "Disiplin Ilmu", Garden Coffe, Makassar, Rabu 21-januari-2015

Posting Komentar