Asssalamualaikum wr wb.,
Dalam dokumen kebijakan obat tradisional (kotranas) tahun 2006,tercatat ada 30.000 tumbuhan yang teridentifikasi di negeri ini,7.500 diantaranya tergolong tanaman obat (kotranas,2006). Sementara dalam hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (susensi) 2001,tercatat sebanyak 57,7 persen penduduk indonesia melakukan pengobatan sendiri tanpa bantuan medis,31,7 persen diantaranya menggunakan tumbuhan obat teradisional,dan 9,8 persen memilih tatat pengobatan lainya.
Data ini bisa ditafsirkan sebagai masih rendahnya keaandalan pelayanan medis yang tersedia.Tapi disisi lain angka tersebut menunjukan potensi besar yang dimiliki industri jamu nasionalSetidaknya data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menguatkanya.Sampai tahun 2002,ada 1,012 usaha obat tradisonal yang berisin industri (105 skala besar dan 97 skala kecil).Di tahun 2008,industri jamu nasional mencatat omset senilai 8 triliun.Pertumbuhan industri jamu memenag tergolong pesat,yakni mencapai 20% pertahunya ,dengan jumlah serapan tenaga kerja 10 juta orang.Dengan bahan baku seluruhnya produksi dalam negeri,industri jamu adalah slah satu industri nasional yang terbukti tahan banting dari terjangan krisis ekonomi.
Tapi lagi -lagi sikap pengurus negara ini,membuat jutaan pelaku industri jamu,terutama skala rumah tangga,harus mangap -mangap menyesuaikan diri dengan kebujakan pemerintah dalam bidang kesehatan.Otoritas kesehatan negeri ini masih memandang khasiat obat obatan tradisonal secara sebelah mata,dan lebih menganak emaskan sistem farmasi modern.Ini terlihat dari rendahnya dukungan pemerintah untuk pengembangan industri jamu.Sikap pilihan itu tak lepas dari sikap ketergantungan indonesia.Saat ini obat dan pengobatan din indonesia masi bergantung bpada pengobatan barat (obat inpor),90-95 persen bahan obat di ambil dari luar lalu di-assembling di indonesia.
Kenyataan itulah yang membuat para medis di indonesia selalu memandang sebelah mata jamu.Meskipun sudah ada kepmenkes 1109/2007 tentang pengobatan kompementer alternatif sebagai jalan mengitergrasikan pengobatan terdisoanal dalam pelayanan kesehatan formal,sudah menjadi rahasa umum bahwa kebanyak dokter lebih memilih berperan sebagai juru promosi dan antek-antek perusahaan farmasi Multinational.
Paling tidak, ada dua argumen yang digunakan oleh dokter untuk menolak meresepkan herbal untuk pasienya.Pertama,sistem pendidikan ilmu yang mereka miliki memang berkiblat pada kaidah ilmu kedikteran barat modern, yang menuntut uji kliniks yang ketat ala pharmaceutical,yakni proses yang mengharuskan dilakukan uji double-blind berkali kali secara besar dan acak.Padahal obat tradisional telah terbukti kemampuanya melalu uji empiris.Hasil uji coba penggunaan berabad-abad lamanya di pandang remeh.Sementar tidak perlu semua karya pengobatan harus melalui kaidah ilmu sains barat yang tetap memiliki keterbatasan bahkan tak lepas dari kekiruian.
Alasan kedua yang digunakan sebagai tangkisan adalah herbal tidak tokcer,tidak bisa langsung sembuh begitu diminum. Banyak dokter khawatir dianggap tak sakti jika obatnya tak manjur sementara pasien lebih sering karena ketidk tahuanya menuntut obat yang cespleng.Walhasi bnayka dokter,tak hanya di indonesi tapi juga di negara berkembang lainya,dengan "lancang"meresepkan obat keras semacam kostikosteroid dan antibiotika,hanya untuk infeksi firus ringan,semacam flu.Walaupun sesungguhnya sudah jmak di ketahui dikalangan medis,bahwa kedua obat tersebut tak benar-benar berguna untuk membasmi infeksi virus ketimbang jamu tolak angin yang lebih murah.
Itu sedikit pandangan penulis dalam memahami karya Abihisam D.M dkk. Semoga bermanfaat bagi para pembaca dan lebih membuka mata anak bangsa bahwa kita harus keluar dari segala belenggu kapitalisme.Terima kasih..
Wassalam
Penulis; Hakqul Fattah