Berbicara
mengenai pelaksanaan konstitusi, maka kita akan berbicara mengenai aspek
aksiologis atau nilai praktis dari konstitusi itu sendiri. Nilai konstitusi
menurut Karl Loewenstein terbagi atas 3 nilai; nilai normatif yang dipahami dan
dipatuhi oleh masyarakat, nilai nominal yang tidak dijadikan rujukan dan tidak
dipatuhi oleh masyarakat, dan nilai semantik yang hanya dihargai sebagai
keluhuran di atas kertas, jargon, semboyan, atau alat pembenaran belaka. Menarik
untuk dikaji, bagaimanakah hubungan antara konstitusi dan gagasan demokrasi itu
sendiri? Bagaimana pula kedudukan demokrasi dalam sejarah perkembangan konstitusi
Indonesia? Dan apakah konstitusi yang sekarang berlaku merupakan konstitusi
yang demokratis?
Ideologi
Pancasila merupakan komparasi dan kombinasi dari ideologi-ideologi dunia yang
ada. Para pendiri bangsa melakukan perbandingan setelah itu mencari yang
terbaik darinya hingga menggabungkannya menjadi suatu ideologi utuh dan
tersendiri. Mahfud M.D. menyebut konsep tersebut sebagagi konsep prismatik,
yaitu penggabungan dua konsep yang berlawanan ke dalam satu konsep yang
diterima oleh perkembangan masyarakat setempat.[1]
Agar
konstitusi sebagai hukum tertinggi yang ada pada suatu Negara dapat berjalan
sesuai dengan kehendak rakyat, harus disusun suatu konstitusi yang berdasar
kepada pandangan hidup atau ideologi bangsa tersebut. Ideologi menjadi rujukan
bagi pembentukan sistem hukum bangsa tersebut, termasuk konstitusinya. Dalam
konteks keindonesiaan, konstitusi harus dibangun berdasar pada ideologi Negara
dan bangsa Indonesia, yaitu ideologi Pancasila. Saking koherennya, maka
legitimasi ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara termaktub dalam pembukaan
UUD 1945. Maka, antara pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh yang memuat
Pasal-pasal UUD 1945 memang telah diupayakan agar termaktub dalam suatu
konstitusi yang koheren dan komprehensif. Jadi, berkontitusi berarti
berpancasila.
Substansi
dari setiap konstitusi setidaknya memuat tiga unsur dasar, yaitu; kesepakatan
tentang tujuan atau cita-cita bersama, kesepakatan tentang supremasi hukum
dalam bernegara, dan kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan. Substansi pertama telah termuat dalam
pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang Pancasila sebagai Dasar Negara dan
tentang Tujuan Negara. Substansi kedua tentang supremasi atau pengutamaan hukum
telah termuat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi; Negara Indonesia
adalah Negara Hukum. Sementara substansi ketiga termuat dalam Pasal-Pasal UUD
1945 yang mengatur tentang bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang
mengatur kekuasaannya, hubungan antar organ Negara itu satu sama lain, serta
hubungan antar organ Negara itu dengan warga Negara. Maka dapat pula diterapkan
proposisi sebaliknya, bahwa berpancasila berarti berkonstitusi.
Maka,
dapat disusun suatu rangkaian sejarah seperti berikut; bahwa Pancasila sebagai
ideologi atau dasar Negara dilahirkan pada 1 Juni 1945. Kemudian Pancasila
disempurnakan ke dalam suatu Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juli 1945. Kontrak
sosial tersebut menjadi dasar pembentukan Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dan Piagam Jakarta tersebut kemudian
disatukan sebagai Pembukaan dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 hingga
menjadi suatu konstitusi yang utuh dan diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Dilacak dari proses pembentukannya, konstitusi di Indonesia tergolong
demokratis. Itulah mengapa demokrasi atau kedaulatan rakyat termaktub pada
Pasal 1 ayat 2 yang dari konstitusi terlama hingga yang terbaru selalu
dipertahankan atau bahkan dikembangkan. Inilah demokrasi Pancasila atau yang
oleh Mohammad Hatta disebut sebagai demokrasi kita, yaitu Demokrasi yang
berkembang di Indonesia dan merupakan warisan dari demokrasi desa yang telah
tumbuh subur di berbagai nagari dan desa-desa yang ada di Indonesia.[2]
Kedudukan Demokrasi
dalam Sejarah Perkembangan Konstitusi Indonesia
Tercatat sudah 4 kali Indonesia
mengubah konstitusinya. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian disebut
konstitusi proklamasi. Kedua, konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 yang
kemudian disebut konstitusi RIS. Ketiga, Undang-Undang Dasar Sementara 1950
yang kemudian disebut konstitusi sementara. Kemudian pada tahun 1959 berdasarkan
pada Dekrit Presiden Soekarno maka konstitusi proklamasi diberlakukan kembali.
Dan keempat, Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV Perubahan I-IV pada tahun 1999-2002 yang kemudian disebut konstitusi
reformasi.
Pada
konstitusi proklamasi, demokratisasi cenderung kolektivisme demi penegasan atas
kemerdekaan Indonesia sebagai suatu bangsa. Sayangnya, kemerdekaan individu
kurang mendapat tempat. Pada konstitusi RIS, demokratisasi cenderung
liberalisme demi penegasan atas hak-hak individu yang mengadopsi Declarations
of Human Rights yang disenggelarakan oleh PBB pada tahun 1948. Sayangnya,
kemerdekaan kolektif Indonesia sebagai suatu bangsa justru terancam oleh sikap
individualistis waraga negara Indonesia sendiri dan utamanya oleh ancaman
agresi militer Belanda yang kedua. Pada konstitusi sementara, demokratisasi
mulai berimbang antara semangat kemerdekaan individu dengan semangat
kemerdekaan sosial sebagai suatu bangsa. Sayangnya, konstitusi sementara hanya
berlaku 9 tahun dikarenakan Dekrit Presiden pada 1959. Pada konstitusi
reformasi, keseimbangan antara kemerdekaan individu (HAM) dan kemerdekaan
sosial sebagai suatu bangsa makin disempurnakan.[3]
Demokratisasi
Konstitusi demi Penyempurnaan Konstitusi yang Demokratis
UUD 1945 pasca amandemen atau konstitusi
reformasi dapat dikatakan sebagai suatu konstitusi yang sama sekali baru.
Karena dari 71 ayat, sekarang menjadi 199 ayat. Muatan mengenai demokrasi dan
hak asasi manusia juga lebih komprehensif dan spesifik. Demi demokratisasi
konstitusi, diperlukan penataan sistem aturan, penataan kelembagaan,
pemisahan kekuasaan dan check balances, peningkatan pemahaman
penyelenggara negara dan masyarakat, dan domestikasi UUD 1945 ke dalam bahasa
daerah masing-masing untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi dan living constitutions.[4]
Demokratisasi tidak boleh diartikan hanya
berdimensi politik. Demokratisasi juga berdimensi sosial dan ekonomi. Suatu
negara bisa saja sangat demokratis jika sudah melaksanakan pemilihan umum. Tapi
itu sekadar demokrasi politik. Tidak ada gunanya rakyat bebas menyalurkan hak
politiknya, sementara rakyat tersebut tidak bebas berserikat dan mendapat
kesempatan yang sama dalam mengakses cabang-cabang produksi negara demi
kesejahteraan ekonomi rakyat tersebut. Maka, demokrasi politik harus berjalan
seimbang dengan demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.
Sejatinya, suatu konstitusi bukan sekadar
konstitusi politik dalam bernegara saja. Melainkan pula konstitusi sosial dalam
bermasyarakat dan konstitusi ekonomi dalam berdagang. Kaidah dalam bernegara,
bermasyarakat, dan berdagang inilah yang diatur dalam suatu tatanan hukum tertinggi
bernama konstitusi. Demokrasi berarti bahwa “kehendak” yang dinyatakan dalam
tatanan negara (konstitusi) identik dengan kehendak dari para subyek tatanan
hukum tersebut (warga negara). Lawan dari demokrasi adalah perhambaan otokrasi,
di mana subyek tidak disertakan dalam pembuatan tatanan hukum dan tidak terjadi
keselarasan antara konstitusi dan kehendak rakyat.[5]
Konklusi
Dari pelbagai proposisi yang penulis susun di
atas, dapat disimpul beberapa konklusi. Bahwa demokrasi di Indonesia didasarkan
pada konstitusi reformasi dalam Pasal 1, ayat 2, dan didasarkan pula pada
Pancasila sebagai Dasar Negara dalam sila keempat. Adapun gagasan demokrasi
dalam sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia berawal dari semangat
kolektivisme pada konstitusi proklamasi 1945, cenderung liberalisme pada
konstitusi RIS 1949, dan seimbang antara demokrasi untuk kemerdekaan individu
dan sosial pada konstitusi reformasi 2002. Sementara kontitusi yang berlaku
sekarang ini sudah demokratis dari segi pembentukan konstitusinya, hanya perlu
dikembangkan dari segi pelaksanaan konstitusi itu sendiri.
[1] Moh.
Mahfud M.D. Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Amandamen Konstitusi. Jakarta, Rajawali Press. 2010, hal 6.
[2] Mohammad
Hatta. Demokrasi Kita. 1966
[3] Gagasan
Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi di Indonesia, Disertasi Jimly Asshiddiqie
pada Universitas Indonesia.
[4] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara. Malang, Setara Press. 2015, hal 255
[5] Hans
Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusamedia. Bandung, 2014, hal 402.