Konstitusi Berbasis Kerakyatan
Sabtu, 05 Maret 2016 by Unknown in Label:

Berbicara mengenai pelaksanaan konstitusi, maka kita akan berbicara mengenai aspek aksiologis atau nilai praktis dari konstitusi itu sendiri. Nilai konstitusi menurut Karl Loewenstein terbagi atas 3 nilai; nilai normatif yang dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat, nilai nominal yang tidak dijadikan rujukan dan tidak dipatuhi oleh masyarakat, dan nilai semantik yang hanya dihargai sebagai keluhuran di atas kertas, jargon, semboyan, atau alat pembenaran belaka. Menarik untuk dikaji, bagaimanakah hubungan antara konstitusi dan gagasan demokrasi itu sendiri? Bagaimana pula kedudukan demokrasi dalam sejarah perkembangan konstitusi Indonesia? Dan apakah konstitusi yang sekarang berlaku merupakan konstitusi yang demokratis?
Koherensi antara Ideologi Negara, Konstitusi, dan Demokrasi
            Ideologi Pancasila merupakan komparasi dan kombinasi dari ideologi-ideologi dunia yang ada. Para pendiri bangsa melakukan perbandingan setelah itu mencari yang terbaik darinya hingga menggabungkannya menjadi suatu ideologi utuh dan tersendiri. Mahfud M.D. menyebut konsep tersebut sebagagi konsep prismatik, yaitu penggabungan dua konsep yang berlawanan ke dalam satu konsep yang diterima oleh perkembangan masyarakat setempat.[1]
Agar konstitusi sebagai hukum tertinggi yang ada pada suatu Negara dapat berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, harus disusun suatu konstitusi yang berdasar kepada pandangan hidup atau ideologi bangsa tersebut. Ideologi menjadi rujukan bagi pembentukan sistem hukum bangsa tersebut, termasuk konstitusinya. Dalam konteks keindonesiaan, konstitusi harus dibangun berdasar pada ideologi Negara dan bangsa Indonesia, yaitu ideologi Pancasila. Saking koherennya, maka legitimasi ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Maka, antara pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh yang memuat Pasal-pasal UUD 1945 memang telah diupayakan agar termaktub dalam suatu konstitusi yang koheren dan komprehensif. Jadi, berkontitusi berarti berpancasila.
Substansi dari setiap konstitusi setidaknya memuat tiga unsur dasar, yaitu; kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama, kesepakatan tentang supremasi hukum dalam bernegara, dan kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan. Substansi pertama telah termuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang Pancasila sebagai Dasar Negara dan tentang Tujuan Negara. Substansi kedua tentang supremasi atau pengutamaan hukum telah termuat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi; Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sementara substansi ketiga termuat dalam Pasal-Pasal UUD 1945 yang mengatur tentang bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, hubungan antar organ Negara itu satu sama lain, serta hubungan antar organ Negara itu dengan warga Negara. Maka dapat pula diterapkan proposisi sebaliknya, bahwa berpancasila berarti berkonstitusi.
            Maka, dapat disusun suatu rangkaian sejarah seperti berikut; bahwa Pancasila sebagai ideologi atau dasar Negara dilahirkan pada 1 Juni 1945. Kemudian Pancasila disempurnakan ke dalam suatu Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juli 1945. Kontrak sosial tersebut menjadi dasar pembentukan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dan Piagam Jakarta tersebut kemudian disatukan sebagai Pembukaan dengan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 hingga menjadi suatu konstitusi yang utuh dan diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dilacak dari proses pembentukannya, konstitusi di Indonesia tergolong demokratis. Itulah mengapa demokrasi atau kedaulatan rakyat termaktub pada Pasal 1 ayat 2 yang dari konstitusi terlama hingga yang terbaru selalu dipertahankan atau bahkan dikembangkan. Inilah demokrasi Pancasila atau yang oleh Mohammad Hatta disebut sebagai demokrasi kita, yaitu Demokrasi yang berkembang di Indonesia dan merupakan warisan dari demokrasi desa yang telah tumbuh subur di berbagai nagari dan desa-desa yang ada di Indonesia.[2]
Kedudukan Demokrasi dalam Sejarah Perkembangan Konstitusi Indonesia 
            Tercatat sudah 4 kali Indonesia mengubah konstitusinya. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian disebut konstitusi proklamasi. Kedua, konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 yang kemudian disebut konstitusi RIS. Ketiga, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang kemudian disebut konstitusi sementara. Kemudian pada tahun 1959 berdasarkan pada Dekrit Presiden Soekarno maka konstitusi proklamasi diberlakukan kembali. Dan keempat, Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV Perubahan I-IV  pada tahun 1999-2002 yang kemudian disebut konstitusi reformasi.
            Pada konstitusi proklamasi, demokratisasi cenderung kolektivisme demi penegasan atas kemerdekaan Indonesia sebagai suatu bangsa. Sayangnya, kemerdekaan individu kurang mendapat tempat. Pada konstitusi RIS, demokratisasi cenderung liberalisme demi penegasan atas hak-hak individu yang mengadopsi Declarations of Human Rights yang disenggelarakan oleh PBB pada tahun 1948. Sayangnya, kemerdekaan kolektif Indonesia sebagai suatu bangsa justru terancam oleh sikap individualistis waraga negara Indonesia sendiri dan utamanya oleh ancaman agresi militer Belanda yang kedua. Pada konstitusi sementara, demokratisasi mulai berimbang antara semangat kemerdekaan individu dengan semangat kemerdekaan sosial sebagai suatu bangsa. Sayangnya, konstitusi sementara hanya berlaku 9 tahun dikarenakan Dekrit Presiden pada 1959. Pada konstitusi reformasi, keseimbangan antara kemerdekaan individu (HAM) dan kemerdekaan sosial sebagai suatu bangsa makin disempurnakan.[3]
Demokratisasi Konstitusi demi Penyempurnaan Konstitusi yang Demokratis
UUD 1945 pasca amandemen atau konstitusi reformasi dapat dikatakan sebagai suatu konstitusi yang sama sekali baru. Karena dari 71 ayat, sekarang menjadi 199 ayat. Muatan mengenai demokrasi dan hak asasi manusia juga lebih komprehensif dan spesifik. Demi demokratisasi konstitusi, diperlukan penataan sistem aturan, penataan kelembagaan, pemisahan  kekuasaan dan check balances, peningkatan pemahaman penyelenggara negara dan masyarakat, dan domestikasi UUD 1945 ke dalam bahasa daerah masing-masing untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi dan living constitutions.[4]
Demokratisasi tidak boleh diartikan hanya berdimensi politik. Demokratisasi juga berdimensi sosial dan ekonomi. Suatu negara bisa saja sangat demokratis jika sudah melaksanakan pemilihan umum. Tapi itu sekadar demokrasi politik. Tidak ada gunanya rakyat bebas menyalurkan hak politiknya, sementara rakyat tersebut tidak bebas berserikat dan mendapat kesempatan yang sama dalam mengakses cabang-cabang produksi negara demi kesejahteraan ekonomi rakyat tersebut. Maka, demokrasi politik harus berjalan seimbang dengan demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. 
Sejatinya, suatu konstitusi bukan sekadar konstitusi politik dalam bernegara saja. Melainkan pula konstitusi sosial dalam bermasyarakat dan konstitusi ekonomi dalam berdagang. Kaidah dalam bernegara, bermasyarakat, dan berdagang inilah yang diatur dalam suatu tatanan hukum tertinggi bernama konstitusi. Demokrasi berarti bahwa “kehendak” yang dinyatakan dalam tatanan negara (konstitusi) identik dengan kehendak dari para subyek tatanan hukum tersebut (warga negara). Lawan dari demokrasi adalah perhambaan otokrasi, di mana subyek tidak disertakan dalam pembuatan tatanan hukum dan tidak terjadi keselarasan antara konstitusi dan kehendak rakyat.[5]
Konklusi
Dari pelbagai proposisi yang penulis susun di atas, dapat disimpul beberapa konklusi. Bahwa demokrasi di Indonesia didasarkan pada konstitusi reformasi dalam Pasal 1, ayat 2, dan didasarkan pula pada Pancasila sebagai Dasar Negara dalam sila keempat. Adapun gagasan demokrasi dalam sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia berawal dari semangat kolektivisme pada konstitusi proklamasi 1945, cenderung liberalisme pada konstitusi RIS 1949, dan seimbang antara demokrasi untuk kemerdekaan individu dan sosial pada konstitusi reformasi 2002. Sementara kontitusi yang berlaku sekarang ini sudah demokratis dari segi pembentukan konstitusinya, hanya perlu dikembangkan dari segi pelaksanaan konstitusi itu sendiri.
Semoga bermanfaat!


[1] Moh. Mahfud M.D.  Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandamen Konstitusi. Jakarta, Rajawali Press. 2010,  hal 6.
[2] Mohammad Hatta. Demokrasi Kita. 1966
[3] Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi di Indonesia, Disertasi Jimly Asshiddiqie pada Universitas Indonesia.
[4] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara. Malang, Setara Press. 2015, hal 255
[5] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusamedia. Bandung, 2014, hal 402.

Posting Komentar