Sila keempat atau sila kerakyatan ini adalah sila yang banyak disalahtafsirkan khususnya pada dimensi politik, pemerintahan, dan hukum. Ruang lingkup terbesar dari kekeliruan ini berjalan pada proses kerja pemerintahan yang berhubungan dengan kuasa dan kepentingan. Relasi antara kuasa dan kepentingan akan mempengaruhi sejauh mana relativitas tafsir dan bagaimana implementasi dasar negara terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Lambang kepala banteng yang mengilustrasikan sila keempat ini bermakna kebersamaan, gotong royong, dan penghargaan terhadap hak-hak bersama. Tapi apakah ilustrasi itu dapat dipahami dan diterapkan sesederhana lambang kepala banteng. Berikut adalah beberapa paralogisme dalam memaknai sila kerakyatan ini.
1.       Menganggap Pancasila tidak Demokratis
Kekeliruan ini menganggap bahwa metode perwakilan adalah upaya yang tidak demokratis karena kepentingan individu tidak lagi terakomodir secara penuh.
Kekeliruan ini meliputi dimensi ilmu pemerintahan. Metode perwakilan adalah penjewantahan demokrasi di Indonesia, sehingga metode ini dianggap sebagai kolaborasi konsep dan metode yang Pancasilais.
Terdapat perbedaan jelas antara prinsip demokrasi Barat dan demokrasi Indonesia atau demokrasi Pancasila. Prinsip liberal pada demokrasi Barat menandai kecenderungan kekuasaan pada si kuat dan si kaya. Konsekuensinya adalah jauhnya jarak antara penguasa dan yang dikuasai, dan munculnya partai-partai dan adu kekuatan antar kelas atas. Sementara demokrasi Pancasila bertujuan memelihara kesatuan masyarakat, menghindari hidup berpartai-partai, pro hidup rukun dan damai, berpendirian “sama tinggi sama rendah,sama ke hulu sama ke hilir, serasa semalu sepenanggungan, serugi selaba, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, anak orang anak awak, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, hidup tenggang-menenggang, hormat menghormati, bukan tunggang-menunggang tekan menekan, tetapi bersetolong-tolongan, bergotong royong”.[1]
Konsekensi kekeliruan ini adalah rasa apatis terhadap penyelenggaraan demokrasi seperti Pemilu dan Pilkada, kecenderungan golongan putih, dan gerakan pemboikotan demokrasi.
2.       Demokrasi Over Voting
Kekeliruan ini menganggap metode voting pada musyawarah adalah metode terbaik dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Kekeliruan ini hadir karena menganggap pilihan orang banyak akan selamanya bernilai benar dan baik, sementara kebenaran dan kebaikan tidak dinilai berdasarkan jumlah mayoritas. Misalnya, 90 dari 100 orang dalam suatu majelis menganggap toleransi antar beragama adalah hal yang salah. Padahal toleransi adalah pilihan yang akan melindungi hak dari ke-seratus orang tersebut.
Kekeliruan ini berdampak pada pemberlakuan metode voting pada segala musyawarah baik organisasi, komunitas, bahkan keluarga. Konsekuensi lebih besarnya adalah mudahnya kapitalis, artis, atau profesi lainnya yang tidak memperhitungkan kualitas, abilitas dan kapabilitis untuk menjadi pemimpin.




[1] Hazairin, Demokrasi Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 39
                                                                                                                    

Posting Komentar