Perenialisme
adalah sebuah cabang filsafat yang sangat tua umurnya. Dimana secara etimologis
perenial dari istilah Latin yaitu philoshopia dan perpenis yang artinya adalah
filsafat yang abadi. Menurut Charles B. Schmitt perenialisme sudah ada sejak
zaman pemikir awal yang istilahnya mulai dikenal pada abad ke 16 yang ia gali
sendiri bahwa ternyata ada yang dinamakan filsafat perenial. Tokoh-tokohnya
yaitu Marcilio Ficino, Giovanni Pico, Agustino Steuco, dan Leibniz. Menurut
Karl Jaspers bahwa tidak menerima filsafat perenial sebagai sistem, karena
menurutnya filsafat apapun tidak tunduk pada aturan temporal dan perubahan
apapun. Argumen ini diperkuat oleh James Collins bahwa filsafat perenial
merupakan kata sifat yang menyintesisikan dua atau lebih pemikiran filsafat
menjadi satu sistem pemikiran yang integral dan universal.
Agustino Steuco sendiri
menyintesiskan antara teologi, filsafat kuno, dan agama Kristen
(Platonisme/Neo-Platonisme). Tambahan dari Aldous Huxley sendiri bahwa perenialisme ini tidak diketahui siapa
pencetusnya dan terdiri atas tiga cabang yaitu metafisika, psikologi, dan
etika. Maka dari itu menuntun kita kepada eksistensi Allah “The Ground” atau
dasar dunia dan segala isinya. Mereka sepakat seperti yang dikatakan Huxley
dalam The Perenial Philosophy merupakan doktrin/ajaran yang ditemukan dalam
dongeng tradisional dari masyarakat primitif dan dalam bentuk yang matang dalam
setiap agama tingkat tinggi.
Perenialisme lahir pula untuk
mengkritisi filsafat lainnya seperti modernisme dan postmodernisme. Alasan
mengkritisi modernisme dipandang sebagai merusak keseimbangan tatanan ciptaan
dengan merusak lingkungan hidup yang dimana manusia mendominasi alam. Sedangkan
postmodernisme mengkritisi modernisme yang tak luput dari problematikanya
sendiri. Postmodernisme adalah sebuah realitas liar yang tak terdefinisikan
karena penuh dengan aspek kontradiksi. Postmoderisme memunculkan kembali
doktrin-doktrin filsafat perenial yang telah dikubur oleh modernisme. Tidak ada
yang mengkritisi kembali perenalisme, karena perenialisme sendiri mengantarkan
kita kepada kesadaran akan keseluruhan, keterjalinan, serta keutuhan yang
menopang dan mengembangkan dasar segala sesuatu.
Perenialisme berkarakter holistis
dan siklis. Dia menerima segala aspek di dunia ini, baik itu dapat diindrai
maupun tidak, dapat diterima akal maupun tidak. Perenialisme memandang segala
sesuatunya pada dasarnya sama sehingga dalam agama sendiri dikenal Godhead
(Kristen), Tao (Cina), Bunyata/kehampaan (Budha), Brahmana (Hindu), dan Al Haqa
(Islam). Dengan demikian fenomena postmodernisme merupakan wujud dari
kebangkitan perenialisme.