Lima tahap perkembangan masyarakat dikemukakan oleh Bung Karno
sekitar 1950-an di istana Negara. Pertama
tingkat pertumbuhan masyarakat yang hidup dalam gua. Kedua ,tingkat kehidupan masyarakat yang hidup dari hasil
perburuan. Ketiga, tingkat
pertumbuhan masyarakat yang hidup dari hasil aktivitas bercocok tanam. Keempat, tingkat pertumbuhan masyarakat
dari aktivitas kerajinan. Kelima,
tingkat kehidupan masyarakat industri. Perubahan cara hidup masyarakat dari
aktivitas bercocok tanam dan kerajinan menuju masyarakat industri sangat
dipengaruhi oleh perjalanan laut yang dilakukan oleh Vasco da Gama (8 Juli 1497)
dan Christopher Columbus pada abad ke-15.
Revolusi
Industri di Eropa, Kolonialisme dan Kapitalisme
Peran
dan daya kerja modal pada tahap kelima telah membuat perdagangan di Eropa pada abad
ke 15 M berkembang pesat. Dalam rangka inilah, para industrialisasi
bangsa-bangsa Eropa bertingkah seperti anak-anak penyu yang baru keluar dari
sarang penetasnya. Ramai-ramai berlari mencapai pantai guna menceburkan diri ke
samudra untuk mencapai penjajahan negeri-negeri yang masyarakatnya masih
bersandar pada sepasang telapak tangan dan kakinya dalam memproduksi segala
keperluan hidupnya.
Kapitalisme
adalah wujud nyata dari proses sejarah perkembangan kehidupan masyarakat tahap
kelima dari teori yang dikemukakan oleh Bung Karno. Kapitalisme adalah sebuah
sistem ekonomi yang dibentuk di atas tiga kaki, yaitu “peran dan daya kerja
modal”, ”tenaga kerja manusia”, ”ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)”.
Ketertindasan
penduduk negeri-negeri Asia, Afrika dan Amerika latin oleh kebrutalan
kapitalisme Eropa seperti yang dialami oleh masyarkat Indonesia dari VOC adalah
akibat dari suksesnya ekspedisi laut Vasco da Gama yang menemukan jalur laut
dari eropa ke India. Perlahan tapi pasti, semua itu membuat kapitalisme muda
bermetamorfosis menjadi imperialisme yang kemudian bermetamorfosis lagi menjadi
kolonialisme.
Kolonialisme,
sebagaimana masyarkat Indonesia rasakan dan alami, berlangsung selama kurang
lebih 350 tahun. Tentu cepat atau lambat, belenggu tersebut membangunkan
kesadaran masyarakat terjajah untuk bangkit membebsakan diri dari penindasa. Kesadaran
itulah yang disebut dengan Nasionalisme.
Lahirnya
Kesadaran Nasional
Seiring
timbulnya semangat Nasionalisme itu sendiri kemudian mengalami berbagai kendala
yang selalu saja membayang-bayangi roh pergerakannya, yaitu; Satu, kurangnya pemahaman dari
masyarakat politik bahkan elit politik tentang apa itu Nasionalisme. Kedua, kurangnya waktu untuk
mengingat-ingat dan mempelajari apa dan siapakah warga Indonesia. Ke-tiga, besarnya egoisme kelompok atau
golongan masyarakat. Keempat, akibat
dari ketiga permasalahan diatas menjadi kalah jernihnya masyarakat dalam
memandang dan memahami Nasionalisme ketimbang saat pemerintah Hindia Belanda
dulu, yang berhasil memahami secara lugas bahwa Nasionalisme tidak lain adalah
lonceng kematian bagi kolonialisme.
Sisi Lain
Kapitalisme dan Relasinya dengan Ekonomi Pancasila
Terlepas
dari segala sisi negatifnya, kapitalisme dengan peran dan daya kerja modal yang
menjadi tumpuan hidupnya adalah sebuah sisitem-ekonomi yang cenderung mengejar
sesuatu yang baru dan maju. Contohnya dapat dilihat dari sisi transportasi.
Tidak mungkin tanpa peran kapitalisme, peradaban manusia akan berhasil
mengalami lompatan dahsyat dari punggung kuda atau unta melesat ke tranportasi
ruang angkasa.
Akibat
proses masa kelahiran bangsa modern berada dalam masa pertumbuhan dan
perkembanga kapitalisme, maka jadilah bangsa ini sebagai anak bangsa zaman
kapitalisme. Sebagai anak bangsa zaman kapitalisme tak pelak lagi tugas sejarah
bangsa untuk mengawal, melindungi pembangunan serta pembangunan kapitalisme.
Maka timbullah pertanyaan; apa maunya para elit politik tertentu di Negeri kita
yang malah getol mengusung “Neolib” sebagai landasan hidup masa depan bangsa
Indonesia (kebalikan dari tujuan masyarakat adil sejahtera). Bukankah ini
pertanda bahwa memang para elit politik tertentu tidak memahami Pancasila?
Dari
semua yang diuraikan sebelumnya, kita harus menarik satu kesimpulan yang jelas
dan tegas bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang terbentuk atau
terlahir dari sebuah proses pertarungan kepentingan antara pihak terjajah dan
pihak penjajah. Kalau kita bicara soal nation
and character building, sifat atau watak bangsa Indonesia sama sekali tidak
ada kaitanya dengan nenek moyang kita ,baik mereka yang hidup di zaman
Majapahit atau lebih jauh lagi, para ksatria Sriwijaya yang hidup di antara
laras harmoni gending Sriwijaya. Watak masyarakat Indonesia sepenuhnya adalah
watak anti penjajahan dalam segala bentuk.
Pada rapat besar BPUPKI 1 juni 1945,sebuah
pidato yang kemudian dikenal dengan pidato lahirnya Pancasila, Bung karno
bertanya, ”Apakah yang dinamakan bangsa?Apakah syarat dari sebuah bangsa?”.
Menurut Bung Karno, syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Berdasarkan
Ernest Renan yang menyebutkan syarat bangsa ialah le desire d’etre ensemble yang berarti “kehendak akan bersatu”.
“Menurut definisi Renan” kata Bung Karno, maka yang menjadi bangsa adalah suatu
gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Disadari
atau tidak, itulah proses perjalanan perjuangan masyarakat Indonesia, mempersekutukan
diri untuk membentuk sebuah bangsa. Logika tugas sejarah bangsa Indonesia
bukanlah mengadopsi dan memelihara neoliberalisme, melainkan membangun tatanan
sebuah masyarakat adil dan sejahtera.
Memaknai
Pancasila
Apakah
sebenarnya Pancasila itu? Sesuai dengan apa yang di jelaskan oleh Bung Karno
pada sidang BPUPKI 15 juni 1945
“…Timbullah itu oleh karena Economisch
Liberalisme. Sistem yang memberi hak sepenuh-penuhnya kepada beberapa orang
manusia saja, untuk menghisap, memeras, menindas sesama manusia yang lain.
Inilah sebab suburnya kapitalisme dan imperialism, itulah dari padanya saya
terangkan asalnya kapitalisme, kapitalisme yang asalnya dari economisch liberalisme, yang asalnya economisch liberalisme dari
individualisme. Dengan adanya imperialisme itulah, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya
yang terhormat, kita 350 tahun tidak merdeka, maka India tidak merdeka, maka
Mesir tidak merdeka ,maka Negara-negara lain tidak merdeka”.
Maka apakah pancasila itu? Pertama, Pancasila tidak lain dan tidak
bukan adalah wajah Nasionalisme Indonesia. Kedua,
Pancasila adalah jawaban yang diberikan oleh Soekarno atas pertanyaan yang
diajukan oleh Ketua BPUPKI pada sidang Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka.
Demikian
itu, Pancasila yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya adalah pahatan wajah
nasionalisme Indonesia yang diukir dalam semangat serta cita-cita perjuangan
pembebasan dan memerdekakan diri sebagai sebuah bangsa yang setara dengan
bangsa-bangsa lain di Dunia. Jelas bahwa dasar yang pertama dari pancasila
ialah dasar “kebangsaan”sebagiamana hal yang dimaksud terlihat pada kutipan
dari pidato lahirnya Pancasila di gedung Tyuuoo
Sangi-in (sekarang Departemen Luar Negeri). Manakah sebenarnya sila
Pancasila yang di tawarkan oleh Bung Karno itu;
1.
Kebangsaan
Indonesia
2.
Internasionalisme,
atau Peri Kemanusiaan
3.
Mufakat atau
Demokrasi
4.
Kesejahtraan
Sosial
5.
Bertuhan
yang Berkebudayaan
Maka sangat jelas bahwa menurut sang penggali
Pancasila sendiri dasar pertama yang baik dijadikan dasar Negara untuk
Indonesia bukanlah salah satu dari keempat sila pancasila seperti yang berlaku
sekarang melainkan Sila “kebangsaan Indonesia”. Sedangkan dalam kenyataanya
sehari-hari ternyata tidak demikian. Di dalam urutan sila Pancasila itu pun
tidak lagi terdapat perbendaharaan kata sila “kebangsaan Indonesia“, melainkan
perbendaharaan kata “persatuan Indonesia“ pada urutan ketiga sebagai salah satu
dari sila Pancasila. Adakah ini yang dimaksud pengganti sila ”kebangsaan
Indonesia?” Mengapa perlu untuk diganti? Dan apakah sama arti kebangsaan dengan
persatuan?
Kebangsaan
Indonesia vs Persatuan Indonesia
Mari
kita lihat dari sudut pandang Kamus Besar Bahasa Indonesia dari pusat bahasa
edisi keempat Departemen Pendidikan Nasional (Dediknas). Di katakan dalam kamus
itu bahwa kebangsaan adalah n 1 ciri-ciri
yang menandai satu golongan bangsa. Sedangkan kata persatuan menurut KBBI ; n 1 gabungan (ikatan,kumpulan,dsb) beberapa
bagian yang sudah bersatu; 2 perserikatan,serikat; 3 perihal bersatu. Di mana
ciri bangsa Indonesia? ketika “kebangsaan” itu sendiri tak lagi menjadi hal
utama dalam sila-sila pancasila yang seharusnya senantiasa mengingatkan kita
akan kejadian masa lalu ,digantikan oleh kata ”Persatuan” yang pemaknaanya
hanya mempersatukan beberapa bagian yang sudah bersatu tanpa memberikan ciri
yang menandai satu golongan bangsa.
Mungkinkah
hilangnya sila kebangsaan dari kesatuannya dengan Pancasila karena ada orang
atau kekuatan politik yang berkepentingan dengan sengaja menghilangkannya? Yang
berakibat pupusnya rasa empati antar sesama warga Indonesia? Itulah sekali lagi
motivasi untuk dipermasalahkan dalam tulisan ini; tentang hilangnya dan
tergantinya sila “kebangsaan Indonesia“ oleh sila “persatuan Indonesia”. Apa
lagi setelah adanya kenyataan bahwa hal itu berdampak buruk seperti pudarnya
semangat empati dan toleransi antar sesama anak bangsa, yang lebih jauh
mendorong terjadinya pelanggaran HAM berat.
Pelanggaran
HAM di Bumi Pancasila
Selaras
dengan pidato Pancasila dalam pidato 1 Juni 1945 yang pada sila kedua sama-sama
di terangkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia (HAM). Tetapi, gelora nafsu berkuasa terutama pada
kekuatan-kekuatan politik tertentu, ternyata dimanapun sama saja, halus atau
kasar, berperilaku sama. Menghalalkan segala cara demi bisa meraih segala
kepentingannya ,khususnya untuk berkuasa dan atau melanggengkan kekuasaan itu.
Sehingga “kesaktian“Pancasila, alih-alih menyempurnakan semangat dan nilai
positif penghormatan HAM, justru menambah jelas pencorengan nilai penghormatan
atas HAM. Bagaimana tidak pada kenyataanya makna kata “kesaktian” Pancasila
ternyata adalah tindakan pelanggaran HAM seberat-beratnya, berupa pembantaian
massal atas dasar ketidaksudian hidup bersama disebuah negeri dengan sesama
warga bangsa Indonesia yang ideologinya beda dengan ideologinya sendiri.
Sekitar
1965-1966, di negeri ini berlangsung genosida berdasarkan landasan ideologi
yang dianut oleh sebagian warga bangsa Indonesia, dan karena keberhasilan pembantaian
terhadap sebagian warga bangsa Indonesia yang berbeda ideologi itulah kemudian
dibangun Monumen Kesaktian Pancasila. Tak dapat disangkal lagi oleh siapapun, sehingga
tidak mau mengakui adanya pelanggaran HAM berat di negeri ini terkait dengan
kejadian peristiwa G30SPKI bahwa perbendaharaan kata Monumen Kesaktian
Pancasila adalah pengakuan serta bukti sejarah yang tidak dapat disangkal telah
terjadi pelanggaran HAM berat pada 1965.
Di
negeri kita, pemahaman HAM memang masih perlu terus didorong ke taraf yang
tepat. Mengapa? Karena jarang orang memahami bahwa masalah HAM adalah masalah
kepentingan para pihak terkait di dalamnya. Hanya terang Pancasila sajalah yang
akan mengekang bagi terulangnya kejahatan kemanusiaan melalui berbagai tindakan
dan bentuk di negeri ini. Mengingat redupnya cahaya Pancasila sesungguhnya
adalah penumbuh nafsu berkuasa di ladang egoisme kelompok yang tidak
terkendali, di samping intensifnya campur tangan kepentingan asing di dalamnya,
sehingga tindak pelanggaran HAM berat maupun ringan akan berulang terjadi.
Logikanya,
hanya dengan kembali pada semangat bersama menerima dan melaksanakan pancasila
pada 1 juni 1945. Hanya dengan itu, nafas dan semangat kehidupan Negara dan
bangsa Indonesia dapat dipugar, pulih seperti sedia kala ketika
dikumandangkannya Pancasila. Dengan demikian makna perbendaharaan kata
restorasi bagi bangsa Indonesia tak lain kembali kepada dasar Pancasila. Jadi
tulisan ini, yang mana adalah pandangan penulis terhadap buku Masa Gelap
Pancasila karya Tan Swie Lin, mencoba mengigatkan kita bahwa akan ada masa gela
Pancasila, di mana Cahaya Pancasila redup oleh tangan-tangan pemerintah dan
warga Negara yang mereduksi nilai luhur Pancasila pada perbuatan-perbuatan
hina-dinanya. Seperti kata Milan Kundera, perjuangan manusia melawan kekuasaan
adalah perjuangan melawan lupa.
Penulis; Hakqul Fattah
Editor ; Hartono Tasir Irwanto
#SebarIdeologiAksiPancasila