Menatap Indonesia 2016; Antara Peluang dan Tantangan
Jumat, 15 Januari 2016 by Unknown in Label:


“JASMERAH” Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

“ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya”

Beberapa kutipan Bung Karno diatas mungkin kembali membangkitkan rasa patriotisme dan nasionalisme kita kalau mengingat-ingat sejarah para pahlawan yang dengan harta maupun nyawa berkorban demi kemerdekaan anak cucunya dari tangan para penjajah. Adalah suatu hal yang biasa saat ini jikalau saat generasi penerus yang menikmati jasa perjuangan para pahlawan bangsa ini, lupa dengan sejarah bangsanya. Inilah akibat globalisasi yang tidak dipersiapkan dengan baik oleh pemerintahnya. Bahkan lebih parahnya lagi Pancasila yang menjadi Ideologi Tunggal bangsa ini sudah mulai dilupakan oleh para pemuda pengisi kemerdekaan saat ini. Indonesia, bangsa yang besar dengan segala kekayaannya mulai dari 17.504 Pulau, 1.340 Suku bangsa, dan 546 bahasa telah menjadikan bangsa ini bangsa yang multy cultural. Hal yang biasa jikalau bangsa ini mudah bergejolak. Namun Ideologi Nasional dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” telah mempersatukan keberanekaan bangsa ini sehingga mampu bersaing ditengah-tengah himpitan perkembangan global yang kian kemari memberi dampak terhadap perkembangan bangsa ini. 70 tahun Indonesia merdeka, bukan suatu hal yang kebetulan bangsa ini dipimpin juga Presiden ke-7. Ir. H. Joko widodo yang telah setahun lebih menduduki istana kepresidenan, banyak pergolakan ekonomi yang perlu menjadi bahan perhatian. Semisal harga BBM yang Mengalami Fluktuatif, begitupun Rupiah, dan TOL laut Jokowi yang kini menjadi “Utopia”.

Ditengah-tengah himpitan globalisasi, Indonesia malah tampil dengan berjuta masalah yang seakan dibuat pelik. Peluang besar dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadi terabaikan. Bukan tidak mungkin kalau bangsa ini nantinya hanya akan menjadi pasar empuk negara tetangga, jika melihat kesiapan menatap Indonesia 2016.

Antara Peluang dan Tantangan mereka yang lebih mantap dalam menyambut ASEAN Comunity. Thailand misalnya, sejak 2008 telah mempersiapkan diri menyambut MEA ini dengan mengajarkan Bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya. Berbanding terbalik dengan Indonesia, kian kemari bukan berbenah diri ataupun mempersiapkan diri, malah sibuk sendiri-sendiri mengurusi persoalan politiknya yang tak jelas arahnya.

Kini AFTA (Asean Free Trade Area) atau MEA sudah resmi diberlakukan mulai tanggal 31 Desember 2015 kemarin. Catatan merah rapor Indonesia masih terpampang dimana-mana. Perguruan Tinggi yang menghasilkan 600.000 pengangguran terdidik pertahunnya belum mampu terserap oleh lapangan kerja yang ada. Belum lagi masuknya tenaga kerja dari negara-negara anggota ASEAN lainnya menambah padat persaingan yang ada. Indonesia dengan berbagai kekayaan alamnya seakan terlihat berbangga. Kalau bangsa kita tidak mau berupaya, yakin dan percaya kekayaan alam kita bukan kita yang rasakan. Kita hanya akan gigit jari dinegeri sendiri, seperti “Tikus yang mati dilumbung Padi”. Itu semua adalah tantangan besar untuk bangsa ini. Sebab besar sebuah tantangan berbanding lurus dengan peluang menang atau kalah yang akan didapatkan.

Penduduk ASEAN berjumlah 600 juta lebih, dan 43% ada di Indonesia. Dengan begitu bangsa kita kemungkinan besar menjadi target pasar utama begi negara-negara yang terhimpun dalam ASEAN Comunity. Sehingga hemat penulis, Pemerintah dengan berbagai macam kesibukannya harus menyisihkan waktu khusus untuk membahas masalah ini. Dari dalam negeri misalnya, pemerintah harus memperkokoh regulasi tentang dominasi asing dan mendukung produksi domestik agar tidak kalah saing dengan produksi yang akan masuk nantinya.

Pemerintah juga harus melakukan berbagai macam pelatihan dan pembimbingan terhadap usaha-usaha dalam negeri. Dari segi Sumber Daya Manusia (SDM), pemerintah boleh membuat suatu kurikulum pendidikan yang mensyaratkan kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh industri maupun sektor jasa yang ada dalam konteks kekinian. Selain itu TOL laut yang telah menjadi program pemerintah JOKOWI-JK saat ini harus sesegera mungkin diselesaikan. Agar kesenjangan yang terjadi dapat cepat teratasi sehingga pemerataan pembangunan dapat terwujud.

Dari sisi tenaga kerja, Indonesia tengah menikmati bonus demografi. Sebanyak 60% penduduk berusia dibawah 30 tahun dan puncaknya, tahun 2028-2030, 70% penduduk berada pada usia kerja 15-64 Tahun. Dengan bonus demografi ini, Indonesia mampu menjadi negara kaya jika jumlah tenaga kerja usia produktif yang lebih besar dibanding yang tidak produktif memiliki produktivitas tinggi. Dan pemerintah harus mampu menghubungkan mereka dengan sistem perbankan agar meningkatkan dana sebagai modal pembangunannya.

Tidak hanya itu, banyak pekerjaan rumah yang mesti terselesaikan. Mulai dari kegaduhan para elit politik, korupsi yang masih meraja lela, sampai dengan kesenjangan pembangunan. Itu semua mesti dahulu diselesaikan sebelum bangsa ini bergerak maju kedepan.

Seperti kata pepatah “Perbaiki dirimu sebelum memperbaiki yang lain, selesaikan tugasmu sebelum menyelesaikan tugas orang lain”.

Posting Komentar