Perempuan merupakan salah satu
tonggak berdirinya bangsa ini. Mengapa dikatakan demikian? Bukankah seorang
perempuan hanyalah makhluk yang lemah? Bukankah seorang perempuan hanya
pendamping hidup laki-laki dan bekerja di rumah? Bagi penulis, tidak selamanya demikian.
Tanpa perempuan, pemimpin-pemimpin pendiri bangsa ini tidak akan pernah ada, seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara,
H.O.S Cokroaminoto, dan banyak lagi. Sedikit yang tahu, bahwa
salah satu anggota BPUPK yang kemudian menjadi kontrak sosial berdirinya Negara
Indonesia adalah Ny. Mr. Maria Ulfa Santoso, yaitu seorang perempuan.
Namun dewasa ini, timbul pelbagai permasalahan
dan pertanyaan seputar peran perempuan, semisal bagaimana dengan perempuan yang
berharap kesamaan gender dengan laki-laki? Bagaimana pula dengan perempuan yang terlalu sibuk dengan karir dan
mengabaikan rumah tangganya sendiri? Dan pertanyaan yang tak kalah pentingnya, bagaimana membangun feminisme berbasis Pancasila?
Secara
etimologi, perempuan berasal dari kata
empu, dengan imbuhan per dan an. Secara istilah, diartikan menjadi subyek yang padanya kita bertumpu. Sebelum dekade 1920, sangat jelas perbedaan gender antara perempuan dan
laki-laki. Belum ada gerakan bahkan pemikiran-pemikiran revolusioner mengenai hak-hak perempuan. Perempuan hanya dijadikan
budak seks, pembantu rumah tangga, dibatasi untuk bersosialisasi, dan lebih
parahnya tidak boleh belajar di sekolah. Pada awal abad ke 20 tersebut,
barulah gerakan bahkan pemikiran mengenai
perempuan mulai dicetuskan dan dikenal dengan gerakan feminisme.
Feminisme merupakan gerakan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Gerakan feminismepun
bermunculan baik ala kebarat-baratan bahkan ketimur-timuran. Di Indonesia, muncullah R.A. Kartini sebagai
pencetus bahwa perempuan berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun,
pada kenyataannya di era modern saat ini ketika
perempuan memperoleh haknya, seperti dibolehkan
bersosialisasi dan mengenyam pendidikan, perempuan justru kebablasan dalam menuntut haknya daripada menjalankan kewajibannya sendiri.
Salah satu contoh yaitu perempuan terpaksa bekerja di
pabrik yang notabene membutuhkan tenaga fisik lebih yang biasanya laki-lakilah
yang berperan penting dalam pekerjaan fisik seperti ini. Apabila perempuan
sibuk dengan karir dan mengabaikan rumah tangganya sendiri, maka akan timbul
krisis sosial dan moral yang sangat marak terjadi pada saat ini seperti
meningkatnya perceraian, anak-anak yang kurang kasih sayang orang tuanya
sehingga sampai ada yang melakukan seks bebas, memakai narkoba, hingga
melakukan kegiatan-kegiatan kriminal sehingga menyimpang dari struktur sosial dalam masyarakat.
Feminisme ala kebarat-baratan yang
banyak diikuti oleh perempuan saat ini sangat berbeda jauh dengan apa yang dicitakan-citakan
bangsa Indonesia dimana perempuan merupakan salah satu tonggak bangsa ini.
Feminisme ala kebarat-baratan sangat liar dimana sangat menuntut hak dan
mengeyampingkan kewajiban. Perempuan Indonesia harus memiliki feminisme ala
keindonesiaannya sendiri. Perempuan yang tidak melupakan jati dirinya,
perempuan yang memiliki jiwa nasionalis, perempuan yang kasih sayangnya
tercurahkan kepada keluarganya dan bermanfaat untuk lingkungan sosialnya,
perempuan yang tidak lupa kepada ajaran-ajaran agamanya, dan perempuan yang
tidak hanya memakai perasaan dalam berfikir, tetapi
menggunakan akalnya. Bukan pula menggunakan otak dalam merasa, tetapi menggunakan hati yang
pengasih dan pengayang.
Pada
akhirnya, emansipasi bukanlah gerakan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan, karena sudah menjadi kodrat Tuhan untuk menciptakan keduanya dalam
hak dan kewajibannya masing-masing. Emansipasi lebih kepada seruan akan
keseimbangan hak antara laki-laki dan perempuan. Feminisme Indonesia adalah
fenimisme yang mengutamakan keadilan sosial, menyampaikannya dengan sangat
demokratis, demi kesadaran cinta tanah air (bangsanya), di mana elemen terkecil
bangsa merupakan manusia yang merdeka, termasuk perempuan. Karena setiap
manusia merdeka wajib dimuliakan dalam kedudukannya sebagai makhluk Tuhan yang
Maha Esa. Itulah Feminisme Pancasila!