Menyebarkan Feminisme Pancasila
Selasa, 23 Februari 2016 by Unknown in Label:

Perempuan merupakan salah satu tonggak berdirinya bangsa ini. Mengapa dikatakan demikian? Bukankah seorang perempuan hanyalah makhluk yang lemah? Bukankah seorang perempuan hanya pendamping hidup laki-laki dan bekerja di rumah? Bagi penulis, tidak selamanya demikian. Tanpa perempuan, pemimpin-pemimpin pendiri bangsa ini tidak akan pernah ada, seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, H.O.S Cokroaminoto, dan banyak lagi. Sedikit yang tahu, bahwa salah satu anggota BPUPK yang kemudian menjadi kontrak sosial berdirinya Negara Indonesia adalah Ny. Mr. Maria Ulfa Santoso, yaitu seorang perempuan. 

      Namun dewasa ini, timbul pelbagai permasalahan dan pertanyaan seputar peran perempuan, semisal bagaimana dengan perempuan yang berharap kesamaan gender dengan laki-laki? Bagaimana pula dengan perempuan yang terlalu sibuk dengan karir dan mengabaikan rumah tangganya sendiri? Dan pertanyaan yang tak kalah pentingnya, bagaimana  membangun feminisme berbasis Pancasila?
Secara etimologi, perempuan berasal dari kata empu, dengan imbuhan per dan an. Secara istilah, diartikan menjadi subyek yang padanya kita bertumpu. Sebelum dekade 1920, sangat jelas perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki. Belum ada gerakan bahkan pemikiran-pemikiran revolusioner mengenai hak-hak perempuan. Perempuan hanya dijadikan budak seks, pembantu rumah tangga, dibatasi untuk bersosialisasi, dan lebih parahnya tidak boleh belajar di sekolah. Pada awal abad ke 20 tersebut, barulah gerakan bahkan pemikiran mengenai perempuan mulai dicetuskan dan dikenal dengan gerakan feminisme.
Feminisme merupakan gerakan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Gerakan feminismepun bermunculan baik ala kebarat-baratan bahkan ketimur-timuran. Di Indonesia, muncullah R.A. Kartini sebagai pencetus bahwa perempuan berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, pada kenyataannya di era modern saat ini ketika perempuan memperoleh haknya, seperti dibolehkan bersosialisasi dan mengenyam pendidikan, perempuan justru kebablasan dalam menuntut haknya daripada menjalankan kewajibannya sendiri.
Salah satu contoh yaitu perempuan terpaksa bekerja di pabrik yang notabene membutuhkan tenaga fisik lebih yang biasanya laki-lakilah yang berperan penting dalam pekerjaan fisik seperti ini. Apabila perempuan sibuk dengan karir dan mengabaikan rumah tangganya sendiri, maka akan timbul krisis sosial dan moral yang sangat marak terjadi pada saat ini seperti meningkatnya perceraian, anak-anak yang kurang kasih sayang orang tuanya sehingga sampai ada yang melakukan seks bebas, memakai narkoba, hingga melakukan kegiatan-kegiatan kriminal sehingga menyimpang dari struktur sosial dalam masyarakat.
Feminisme ala kebarat-baratan yang banyak diikuti oleh perempuan saat ini sangat berbeda jauh dengan apa yang dicitakan-citakan bangsa Indonesia dimana perempuan merupakan salah satu tonggak bangsa ini. Feminisme ala kebarat-baratan sangat liar dimana sangat menuntut hak dan mengeyampingkan kewajiban. Perempuan Indonesia harus memiliki feminisme ala keindonesiaannya sendiri. Perempuan yang tidak melupakan jati dirinya, perempuan yang memiliki jiwa nasionalis, perempuan yang kasih sayangnya tercurahkan kepada keluarganya dan bermanfaat untuk lingkungan sosialnya, perempuan yang tidak lupa kepada ajaran-ajaran agamanya, dan perempuan yang tidak hanya memakai perasaan dalam berfikir, tetapi menggunakan akalnya. Bukan pula menggunakan otak dalam merasa, tetapi menggunakan hati yang pengasih dan pengayang.

Pada akhirnya, emansipasi bukanlah gerakan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, karena sudah menjadi kodrat Tuhan untuk menciptakan keduanya dalam hak dan kewajibannya masing-masing. Emansipasi lebih kepada seruan akan keseimbangan hak antara laki-laki dan perempuan. Feminisme Indonesia adalah fenimisme yang mengutamakan keadilan sosial, menyampaikannya dengan sangat demokratis, demi kesadaran cinta tanah air (bangsanya), di mana elemen terkecil bangsa merupakan manusia yang merdeka, termasuk perempuan. Karena setiap manusia merdeka wajib dimuliakan dalam kedudukannya sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Itulah Feminisme Pancasila!

Posting Komentar