PARALOGISME TERHADAP PANCASILA (3): PERSATUAN INDONESIA
Selasa, 26 Juli 2016 by Unknown in Label:


Sila ini merupakan sila yang jarang disalapahami, namun meski demikian masih terdapat kekeliruan yang sering terjadi berulang-ulang pada isu tertentu seperti pada isu kebangsaan, politik, dan pemerintahan.
Dimensi Kebangsaan pada sila ini memuat kata ‘Indonesia’ yang merupakan satu dari dua sila yang disisipi kata ‘Indonesia’ selain sila kelima. Keberadaan kata ini mempertegas identitas Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa Indonesia.Terkait isu-isu kebangsaan seperti pemahaman atas gerakan disintegrasi bangsa, politisasi pemerintahan atas nama ideologi dan sebagainya akan diuraikan penulis dalam bentuk kesalahan-kesalahan memaknai sila ketiga Pancasila berikut.
1.       Persatuan bukan Kesatuan
Kekeliruan ini menganggap bahwa kata persatuan pada sila ini bermakna kesatuan.
Kata persatuan dan kata kesatuan meski memiliki kata dasar yang sama namun karena memiliki imbuhan yang berbeda, maka berbeda pula maknanya. Persatuan adalah upaya membentuk suatu eksistensi baru tanpa mengurangi penghargaan terhadap eksistensi lain yang telah ada sebelumnya. Sementara kesatuan adalah persamaan terhadap satu eksistensi lama ke eksistensi baru secara keseluruhan.
Konsekuensi yang hadir pada kekeliruan ini adalah memahami dan menilai Pancasila khususnya Sila Ketiga adalah bentuk penghalalan terhadap otoriterianisme.
2.       Menganggap Pancasila adalah upaya Jawanisasi
Kekeliruan ini menganggap bahwa Sila Kebangsaan ini adalah upaya politik Jawanisasi. Kekeliruan ini berawal dari paradigma terhadap penggunaan kata Pancasila yang diambil dari bahasa sansekerta, dimana bahasa ini kini lebih banyak diserap kedalam bahasa-bahasa Jawa.
Dominasi dan sentralisasi Jawa sejak dulu hingga sekarang juga menjadi landasan epistemologis penguat berikutnya. Tidak meratanya pembangunan, penyebaran suku Jawa melalui transmigrasi ke beberapa daerah, dan kesenjangan kualitas teknologi, informasi, dan pendidikan  juga dijadikan alasan bahwa Pancasila adalah produk Jawa.
Ideologi atau agama apa pun pada akar sejarahnya pasti memuat karakter-karakter khusus seperti bahasa dimana ia berasal. Misalnya Islam, berasal dari bahasa arab yang berarti jalan keselamatan, Komunisme (kommunistischen) yang berasal dari bahasa jerman, dan Pancasila berasal dari bahasa sansekerta yang berarti lima dasar.

Pun Pancasila dalam sejarah pembentukannya bukan hanya melibatkan tokoh-tokoh dari Jawa. Pada keanggotaan PPKI masa awal, dari 21 anggotanya, 9 diantaranya adalah tokoh non-Jawa. Ini berarti bahwa penggunaan istilah Pancasila sebagai dasar negara adalah konsensus bersama para pendiri bangsa yang mewakili daerah-daerah yang ada di Indonesia. 

PARALOGISME TERHADAP PANCASILA (2): KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Minggu, 24 Juli 2016 by Unknown in Label:


Sila kedua yang memuat dimensi kemanusiaan ini juga sering disalahartikan terutama pada isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM). Berkembangnya gaya hidup modern dan hegemoni budaya barat yang menjadi konsumsi global sangat mempengaruhi kehidupan kebudayaan bangsa Indonesia belakangan ini. LGBT, westernisasi, budaya pop, dan isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan lainnya yang kian hari menggusur nilai-nilai ke-Indonesiaan menjadi tantangan bagi ketangguhan Pancasila sebagai benteng pertahanan dalam mencegah penetrasi isu tersebut jauh menggerogoti bangsa Indonesia.
Memahami filosofi sila kedua ini merupakan hal wajib bagi bangsa Indonesa dalam memilah dan memilih hal apa saja yang dapat diterima dan harus ditolak dari pemahaman tentang Kemanusiaan. Memahami sebuah definisi terhadap arti Kemanusiaan haruslah diawali dengan memahami pandangan yang digunakan dalam memaknai arti Manusia. Amerika Serikat dan Belanda dalam menanggapi isu LGBT misalnya. Kedua negara ini memahami Manusia dalam pandangan liberal. Sementara Indonesia yang ber-ideologi Pancasila tentu menolak hal tersebut karena tidak sesuai dengan makna manusia dalam sila kedua. Manusia yang adil dan beradab adalah manusia yang hidup sebagaimana ontologi perbedaan jenis kelamin. Berikut Penulis akan memaparkan beberapa kesalahan dalam memaknai Sila Kemanusiaan.
1.       Merumuskan Sila Kemanusiaan sebagai Bentuk Liberalisme HAM
Kekeliruan ini menganggap bahwa Pancasila adalah penamaan baru terhadap liberalisme HAM. Kekeliruan ini sering terjadi terutama pada isu demokrasi yang memperhadapkan kebebasan dan ketertiban. Di satu sisi, hakikat manusia adalah bebas dalam menentukan pilihan hidupnya. Sementara di sisi yang lain, dibutuhkan norma-norma dalam masyarakat yang mencegah terjadinya pertentangan kebebasan agar terwujud tatanan sosial yang aman dan beradab.
Konsekuensi yang dapat hadir dari kekeliruan ini adalah semakin terbukanya arus westernisasi yang besar yang berdampak pada gaya hidup masyarakat. Sementara pada sektor ekonomi, kapitalisme merupakan hal yang niscaya karena bersumber dari paradigma liberal.
2.       Menyenggamakan Pancasila dan Pelanggaran HAM.
Tidak ada satu pun sila dalam Pancasila yang merestui adanya pelanggaran HAM. Kekeliruan ini adalah kekeliruan yang menganggap bahwa terjadinya pelanggaran HAM seperti genosida, korupsi, terorisme, dan lainnya sebagai bentuk lemahnya Pancasila memaknai HAM.
Perlu dilakukan upaya pembedaan antara das sollen atau yang seharusnya dan das sein atau yang terjadi. Pancasila adalah bentuk dari das sollen yang memuat nilai-nilai yang seharusnya terwujud di Indonesia, termasuk dalam konsep manusia dan memanusiakan manusia yang seharusnya. Sementara genosida, korupsi, terorisme, dan pelanggaran HAM lainnya adalah bentuk das sein yang terjadi dalam bentuk nyata di masyarakat dan bukan karena Pancasila.

 Konsekuensi kekeliruan berpikir ini akan berdampak pada pandangan bahwa Pancasila adalah sebab lemahnya perlindungan HAM. 

PARALOGISME TERHADAP PANCASILA (1): KETUHANAN YANG MAHA ESA
Jumat, 01 Juli 2016 by Unknown in Label:

             Sila pertama ini adalah sila yang paling sering dimaknai keliru dalam penafsirannya. Kekeliruan tafsir inilah yang implikasinya berbuah pada skeptisisme terhadap superioritas Pancasila sebagai dasar negara yang religius. Persoalan Tuhan dan Agama adalah salah satu dari beberapa hal prinsipil yang dimiliki oleh manusia, tidak terkecuali di Indonesia yang memiliki akar sejarah panjang dan kebudayaan beragama yang kuat. Orang bisa saja saling menghina, mengkerdilkan, berperang, hingga saling membunuh karena alasan Tuhan dan Agama.

Perbedaan yang ada di alam semesta adalah kenyataan universal  yang niscaya. Perbedaan keyakinan dalam bertuhan dan beragama pun tak mungkin terhindarkan. Namun persoalan menyikapi perbedaan keyakinan adalah masalah utama yang dimiliki bagi sebuah negara seheterogen Indonesia. Mulai dari perbedaan antar agama, antar mazhab, hingga antar organisasi se-mazhab. Belum lagi persoalan memahami agama berdasarkan lokalitas budaya yang dianggap oleh fundamentalis agama adalah hal yang sesat.

Bentuk-bentuk pemaknaan provokatif cenderung menyesatkan terhadap sila ini akan dijabarkan oleh penulis melalui beberapa fallacy pada bab ini.

1.       Mempertantangkan antara Agama dan Pancasila

Kekeliruan ini adalah kekeliruan epistemologis yang mempertantangkan antara agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih tinggi. Kekeliruan ini biasaya diidap oleh para fundamentalis agama yang menganggap Pancasila adalah agama baru yang bertentangan dengan ajaran agamanya.

Pancasila memiliki dimensi lain yang membedakannya dengan agama. Pancasila adalah ideologi, sejenis dengan Sosialisme, Komunisme, Liberalisme, dan seterusnya. Sementara agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan seterusnya adalah pedoman hidup berkarakter imanen-transenden yang bercirikan konsekuensi eskatologis bagi penganutnya ketika melakukan perbuatan berkaitan tentang ajaran hidup yang dianut. Pancasila sebagai ideologi adalah bentuk hibridasi dari beberapa agama yang diyakini secara berbudaya dan telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam kehidupan bernegara, beberapa negara memang menggunakan agama sebagai dasar negaranya seperti Vatikan dengan Kristen, dan Iran dengan Islam. Namun penting dipahami, kondisi tersebut didukung atas konsensus moral bersama antar penduduk negaranya. Untuk  Republik Islam Iran sendiri misalnya,  terdapat  sekitar 1% atau kurang lebih 600.000 jiwa dari 75 juta jiwa penduduk Iran penduduk non-muslim. Namun alasan utama diterimanya Islam sebagai dasar negara bukan hanya karena mayoritas penduduk Muslimnya, tetapi jaminan hak ekspresi beragama yang berkeadilan dan moderat terhadap penganut agama selain Islam.

Untuk Indonesia sendiri, Pancasila telah melalui rel sejarah yang panjang dan berliku. Ijma ulama (kesepakatan para ulama) Organisasi-organisasi Islam besar Indonesia seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah yang mengakui Pancasila tidak bertentangan dengan Islam adalah bukti bahwa Pancasila merupakan solusi final dalam menyikapi kebutuhan dan persoalan bangsa kedepannya. Mantan Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa, “Penerimaan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Pancasila bukan karena paksaan negara terhadap Islam, melainkan kesadaran bernegara. Pancasila bukan bermaksud menggusur Islam, malah menyuburkannya” (As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. xviii).

Konsekuensi yang kemungkinan besar hadir sebab kekeliruan berpikir ini adalah timbulnya benih radikalisasi masyarakat yang skeptis terhadap negara dalam mengakomodir kebutuhan spritual masyarakat. Masyarakat akan mengalami ‘overdosis beragama’ dimana persolan agama jauh lebih pantas untuk diributkan, dibanding persoalan negara lain seperti politik, ekonomi, hukum, kesehatan, perdagangan, pendidikan, dan persoalan vital negara lainnya.

2.       Mengembar identikkan Sila Ketuhanan dengan Islam

Kekeliruan ini adalah fallacy of dramatic instance yang lebih spesifik dilekatkan pada konteks sila pertama Pancasila. Keberadaan Islam sebagai agama Tauhid atau monoteis dan kata ‘Esa’ pada akhir bunyi sila pertama tidak berarti bahwa Pancasila adalah produk murni Islam, sementara agama dan keyakinan Politeisme, Henoteisme, Animisme, dan Dinamisme tidak sejalan dengan Pancasila.

Dari sisi historis, pembentukan Pancasila juga melibatkan konsensus pemuka agama selain Islam sebagai perwakilan umat beragama di Indonesia seperti Kristen, Hindu dan Budha.
Kekeliruan ini juga merupakan dampak dari pemahaman yang mempertantangkan agama dan Pancasila. Sebab kata ‘Esa’ tersebut dipahami bahwa Pancasila adalah agama baru yang berkarakter monoteisme. Kontroversi pemaknaan kata ‘Esa’ akan dibahas oleh penulis di Kekeliruan pemaknaan berikutnya.

3.       Memaknai Kata Esa sebagai Jumlah Tuhan yang Diakui Negara

Kekeliruan ini merupakan akumulasi dari kekeliruan-kekeliruan sebelumnya. Mempertantangkan agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih tinggi membuat pemaknaan kata ‘Esa’ menjadi kekeliruan pemaknaan berikutnya. Melalui landasan bahwa ‘Esa’ merujuk pada jumlah Tuhan yang diyakini Indonesia, lahirlah kemudian pengkosakataan Agama Pancasila.

Konsekuensi sosiologis yang lahir adalah keberadaan kondisi masyarakat umat beragama yang superordinat dan yang tersubordinatkan oleh penganut keyakinan monoteisme terhadap penganut non-monoteis, misalnya umat Muslim terhadap non-Muslim sebagai mayoritas penganut agama monoteisme di Indonesia.

Penjelasan ini juga merupakan bentuk kritik terhadap upaya-upaya fundamentalis agama yang berhasrat menjadikan agamanya sebagai dasar negara. Implikasi fisik yang lahir adalah kehidupan diskriminatif antar ummat beragama yang cenderung ke arah konflik berdarah. Kondisi ini jelas akan memberikan rasa tidak aman bagi masyarakat dan stabilitas keamanan negara.

4.       Menganggap Penganut Ateisme tidak Ber-Pancasila

Kekeliruan ini menganggap bahwa penganut keyakinan Ateis atau tidak meyakini adanya Tuhan adalah bentuk perbuatan Apancasilais atau tidak ber-Pancasila.

Perlu diklasifikasikan sebelumnya, apakah Pancasila dan Ateisme adalah pedoman hidup Publik atau Privat?. Pancasila adalah pedoman hidup Publik. Karakter ini menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara Ateisme merupakan pedoman hidup privat yang tidak mengatur tata kehidupan publik atau umum. Pedoman hidup Ateisme hanya berlaku bagi kehidupan pribadi penganutnya. Ini berarti bahwa Ateis pun berhak untuk ber-Pancasila. Ia bisa saja dalam keyakinannya tidak mengakui eksistensi Tuhan, namun dalam kehidupan sosialnya ia berkewajiban moral hidup ber-Pancasila terhadap lingkungannya.