PARALOGISME TERHADAP PANCASILA (1): KETUHANAN YANG MAHA ESA
Jumat, 01 Juli 2016 by Unknown in Label:

             Sila pertama ini adalah sila yang paling sering dimaknai keliru dalam penafsirannya. Kekeliruan tafsir inilah yang implikasinya berbuah pada skeptisisme terhadap superioritas Pancasila sebagai dasar negara yang religius. Persoalan Tuhan dan Agama adalah salah satu dari beberapa hal prinsipil yang dimiliki oleh manusia, tidak terkecuali di Indonesia yang memiliki akar sejarah panjang dan kebudayaan beragama yang kuat. Orang bisa saja saling menghina, mengkerdilkan, berperang, hingga saling membunuh karena alasan Tuhan dan Agama.

Perbedaan yang ada di alam semesta adalah kenyataan universal  yang niscaya. Perbedaan keyakinan dalam bertuhan dan beragama pun tak mungkin terhindarkan. Namun persoalan menyikapi perbedaan keyakinan adalah masalah utama yang dimiliki bagi sebuah negara seheterogen Indonesia. Mulai dari perbedaan antar agama, antar mazhab, hingga antar organisasi se-mazhab. Belum lagi persoalan memahami agama berdasarkan lokalitas budaya yang dianggap oleh fundamentalis agama adalah hal yang sesat.

Bentuk-bentuk pemaknaan provokatif cenderung menyesatkan terhadap sila ini akan dijabarkan oleh penulis melalui beberapa fallacy pada bab ini.

1.       Mempertantangkan antara Agama dan Pancasila

Kekeliruan ini adalah kekeliruan epistemologis yang mempertantangkan antara agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih tinggi. Kekeliruan ini biasaya diidap oleh para fundamentalis agama yang menganggap Pancasila adalah agama baru yang bertentangan dengan ajaran agamanya.

Pancasila memiliki dimensi lain yang membedakannya dengan agama. Pancasila adalah ideologi, sejenis dengan Sosialisme, Komunisme, Liberalisme, dan seterusnya. Sementara agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan seterusnya adalah pedoman hidup berkarakter imanen-transenden yang bercirikan konsekuensi eskatologis bagi penganutnya ketika melakukan perbuatan berkaitan tentang ajaran hidup yang dianut. Pancasila sebagai ideologi adalah bentuk hibridasi dari beberapa agama yang diyakini secara berbudaya dan telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam kehidupan bernegara, beberapa negara memang menggunakan agama sebagai dasar negaranya seperti Vatikan dengan Kristen, dan Iran dengan Islam. Namun penting dipahami, kondisi tersebut didukung atas konsensus moral bersama antar penduduk negaranya. Untuk  Republik Islam Iran sendiri misalnya,  terdapat  sekitar 1% atau kurang lebih 600.000 jiwa dari 75 juta jiwa penduduk Iran penduduk non-muslim. Namun alasan utama diterimanya Islam sebagai dasar negara bukan hanya karena mayoritas penduduk Muslimnya, tetapi jaminan hak ekspresi beragama yang berkeadilan dan moderat terhadap penganut agama selain Islam.

Untuk Indonesia sendiri, Pancasila telah melalui rel sejarah yang panjang dan berliku. Ijma ulama (kesepakatan para ulama) Organisasi-organisasi Islam besar Indonesia seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah yang mengakui Pancasila tidak bertentangan dengan Islam adalah bukti bahwa Pancasila merupakan solusi final dalam menyikapi kebutuhan dan persoalan bangsa kedepannya. Mantan Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa, “Penerimaan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Pancasila bukan karena paksaan negara terhadap Islam, melainkan kesadaran bernegara. Pancasila bukan bermaksud menggusur Islam, malah menyuburkannya” (As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. xviii).

Konsekuensi yang kemungkinan besar hadir sebab kekeliruan berpikir ini adalah timbulnya benih radikalisasi masyarakat yang skeptis terhadap negara dalam mengakomodir kebutuhan spritual masyarakat. Masyarakat akan mengalami ‘overdosis beragama’ dimana persolan agama jauh lebih pantas untuk diributkan, dibanding persoalan negara lain seperti politik, ekonomi, hukum, kesehatan, perdagangan, pendidikan, dan persoalan vital negara lainnya.

2.       Mengembar identikkan Sila Ketuhanan dengan Islam

Kekeliruan ini adalah fallacy of dramatic instance yang lebih spesifik dilekatkan pada konteks sila pertama Pancasila. Keberadaan Islam sebagai agama Tauhid atau monoteis dan kata ‘Esa’ pada akhir bunyi sila pertama tidak berarti bahwa Pancasila adalah produk murni Islam, sementara agama dan keyakinan Politeisme, Henoteisme, Animisme, dan Dinamisme tidak sejalan dengan Pancasila.

Dari sisi historis, pembentukan Pancasila juga melibatkan konsensus pemuka agama selain Islam sebagai perwakilan umat beragama di Indonesia seperti Kristen, Hindu dan Budha.
Kekeliruan ini juga merupakan dampak dari pemahaman yang mempertantangkan agama dan Pancasila. Sebab kata ‘Esa’ tersebut dipahami bahwa Pancasila adalah agama baru yang berkarakter monoteisme. Kontroversi pemaknaan kata ‘Esa’ akan dibahas oleh penulis di Kekeliruan pemaknaan berikutnya.

3.       Memaknai Kata Esa sebagai Jumlah Tuhan yang Diakui Negara

Kekeliruan ini merupakan akumulasi dari kekeliruan-kekeliruan sebelumnya. Mempertantangkan agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih tinggi membuat pemaknaan kata ‘Esa’ menjadi kekeliruan pemaknaan berikutnya. Melalui landasan bahwa ‘Esa’ merujuk pada jumlah Tuhan yang diyakini Indonesia, lahirlah kemudian pengkosakataan Agama Pancasila.

Konsekuensi sosiologis yang lahir adalah keberadaan kondisi masyarakat umat beragama yang superordinat dan yang tersubordinatkan oleh penganut keyakinan monoteisme terhadap penganut non-monoteis, misalnya umat Muslim terhadap non-Muslim sebagai mayoritas penganut agama monoteisme di Indonesia.

Penjelasan ini juga merupakan bentuk kritik terhadap upaya-upaya fundamentalis agama yang berhasrat menjadikan agamanya sebagai dasar negara. Implikasi fisik yang lahir adalah kehidupan diskriminatif antar ummat beragama yang cenderung ke arah konflik berdarah. Kondisi ini jelas akan memberikan rasa tidak aman bagi masyarakat dan stabilitas keamanan negara.

4.       Menganggap Penganut Ateisme tidak Ber-Pancasila

Kekeliruan ini menganggap bahwa penganut keyakinan Ateis atau tidak meyakini adanya Tuhan adalah bentuk perbuatan Apancasilais atau tidak ber-Pancasila.

Perlu diklasifikasikan sebelumnya, apakah Pancasila dan Ateisme adalah pedoman hidup Publik atau Privat?. Pancasila adalah pedoman hidup Publik. Karakter ini menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara Ateisme merupakan pedoman hidup privat yang tidak mengatur tata kehidupan publik atau umum. Pedoman hidup Ateisme hanya berlaku bagi kehidupan pribadi penganutnya. Ini berarti bahwa Ateis pun berhak untuk ber-Pancasila. Ia bisa saja dalam keyakinannya tidak mengakui eksistensi Tuhan, namun dalam kehidupan sosialnya ia berkewajiban moral hidup ber-Pancasila terhadap lingkungannya.


Posting Komentar