Sila keempat atau sila kerakyatan ini adalah sila yang banyak disalahtafsirkan khususnya pada dimensi politik, pemerintahan, dan hukum. Ruang lingkup terbesar dari kekeliruan ini berjalan pada proses kerja pemerintahan yang berhubungan dengan kuasa dan kepentingan. Relasi antara kuasa dan kepentingan akan mempengaruhi sejauh mana relativitas tafsir dan bagaimana implementasi dasar negara terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Lambang kepala banteng yang mengilustrasikan sila keempat ini bermakna kebersamaan, gotong royong, dan penghargaan terhadap hak-hak bersama. Tapi apakah ilustrasi itu dapat dipahami dan diterapkan sesederhana lambang kepala banteng. Berikut adalah beberapa paralogisme dalam memaknai sila kerakyatan ini.
1.       Menganggap Pancasila tidak Demokratis
Kekeliruan ini menganggap bahwa metode perwakilan adalah upaya yang tidak demokratis karena kepentingan individu tidak lagi terakomodir secara penuh.
Kekeliruan ini meliputi dimensi ilmu pemerintahan. Metode perwakilan adalah penjewantahan demokrasi di Indonesia, sehingga metode ini dianggap sebagai kolaborasi konsep dan metode yang Pancasilais.
Terdapat perbedaan jelas antara prinsip demokrasi Barat dan demokrasi Indonesia atau demokrasi Pancasila. Prinsip liberal pada demokrasi Barat menandai kecenderungan kekuasaan pada si kuat dan si kaya. Konsekuensinya adalah jauhnya jarak antara penguasa dan yang dikuasai, dan munculnya partai-partai dan adu kekuatan antar kelas atas. Sementara demokrasi Pancasila bertujuan memelihara kesatuan masyarakat, menghindari hidup berpartai-partai, pro hidup rukun dan damai, berpendirian “sama tinggi sama rendah,sama ke hulu sama ke hilir, serasa semalu sepenanggungan, serugi selaba, ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, anak orang anak awak, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, hidup tenggang-menenggang, hormat menghormati, bukan tunggang-menunggang tekan menekan, tetapi bersetolong-tolongan, bergotong royong”.[1]
Konsekensi kekeliruan ini adalah rasa apatis terhadap penyelenggaraan demokrasi seperti Pemilu dan Pilkada, kecenderungan golongan putih, dan gerakan pemboikotan demokrasi.
2.       Demokrasi Over Voting
Kekeliruan ini menganggap metode voting pada musyawarah adalah metode terbaik dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Kekeliruan ini hadir karena menganggap pilihan orang banyak akan selamanya bernilai benar dan baik, sementara kebenaran dan kebaikan tidak dinilai berdasarkan jumlah mayoritas. Misalnya, 90 dari 100 orang dalam suatu majelis menganggap toleransi antar beragama adalah hal yang salah. Padahal toleransi adalah pilihan yang akan melindungi hak dari ke-seratus orang tersebut.
Kekeliruan ini berdampak pada pemberlakuan metode voting pada segala musyawarah baik organisasi, komunitas, bahkan keluarga. Konsekuensi lebih besarnya adalah mudahnya kapitalis, artis, atau profesi lainnya yang tidak memperhitungkan kualitas, abilitas dan kapabilitis untuk menjadi pemimpin.




[1] Hazairin, Demokrasi Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 39
                                                                                                                    

PARALOGISME TERHADAP PANCASILA (3): PERSATUAN INDONESIA
Selasa, 26 Juli 2016 by Unknown in Label:


Sila ini merupakan sila yang jarang disalapahami, namun meski demikian masih terdapat kekeliruan yang sering terjadi berulang-ulang pada isu tertentu seperti pada isu kebangsaan, politik, dan pemerintahan.
Dimensi Kebangsaan pada sila ini memuat kata ‘Indonesia’ yang merupakan satu dari dua sila yang disisipi kata ‘Indonesia’ selain sila kelima. Keberadaan kata ini mempertegas identitas Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa Indonesia.Terkait isu-isu kebangsaan seperti pemahaman atas gerakan disintegrasi bangsa, politisasi pemerintahan atas nama ideologi dan sebagainya akan diuraikan penulis dalam bentuk kesalahan-kesalahan memaknai sila ketiga Pancasila berikut.
1.       Persatuan bukan Kesatuan
Kekeliruan ini menganggap bahwa kata persatuan pada sila ini bermakna kesatuan.
Kata persatuan dan kata kesatuan meski memiliki kata dasar yang sama namun karena memiliki imbuhan yang berbeda, maka berbeda pula maknanya. Persatuan adalah upaya membentuk suatu eksistensi baru tanpa mengurangi penghargaan terhadap eksistensi lain yang telah ada sebelumnya. Sementara kesatuan adalah persamaan terhadap satu eksistensi lama ke eksistensi baru secara keseluruhan.
Konsekuensi yang hadir pada kekeliruan ini adalah memahami dan menilai Pancasila khususnya Sila Ketiga adalah bentuk penghalalan terhadap otoriterianisme.
2.       Menganggap Pancasila adalah upaya Jawanisasi
Kekeliruan ini menganggap bahwa Sila Kebangsaan ini adalah upaya politik Jawanisasi. Kekeliruan ini berawal dari paradigma terhadap penggunaan kata Pancasila yang diambil dari bahasa sansekerta, dimana bahasa ini kini lebih banyak diserap kedalam bahasa-bahasa Jawa.
Dominasi dan sentralisasi Jawa sejak dulu hingga sekarang juga menjadi landasan epistemologis penguat berikutnya. Tidak meratanya pembangunan, penyebaran suku Jawa melalui transmigrasi ke beberapa daerah, dan kesenjangan kualitas teknologi, informasi, dan pendidikan  juga dijadikan alasan bahwa Pancasila adalah produk Jawa.
Ideologi atau agama apa pun pada akar sejarahnya pasti memuat karakter-karakter khusus seperti bahasa dimana ia berasal. Misalnya Islam, berasal dari bahasa arab yang berarti jalan keselamatan, Komunisme (kommunistischen) yang berasal dari bahasa jerman, dan Pancasila berasal dari bahasa sansekerta yang berarti lima dasar.

Pun Pancasila dalam sejarah pembentukannya bukan hanya melibatkan tokoh-tokoh dari Jawa. Pada keanggotaan PPKI masa awal, dari 21 anggotanya, 9 diantaranya adalah tokoh non-Jawa. Ini berarti bahwa penggunaan istilah Pancasila sebagai dasar negara adalah konsensus bersama para pendiri bangsa yang mewakili daerah-daerah yang ada di Indonesia. 

PARALOGISME TERHADAP PANCASILA (2): KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Minggu, 24 Juli 2016 by Unknown in Label:


Sila kedua yang memuat dimensi kemanusiaan ini juga sering disalahartikan terutama pada isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM). Berkembangnya gaya hidup modern dan hegemoni budaya barat yang menjadi konsumsi global sangat mempengaruhi kehidupan kebudayaan bangsa Indonesia belakangan ini. LGBT, westernisasi, budaya pop, dan isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan lainnya yang kian hari menggusur nilai-nilai ke-Indonesiaan menjadi tantangan bagi ketangguhan Pancasila sebagai benteng pertahanan dalam mencegah penetrasi isu tersebut jauh menggerogoti bangsa Indonesia.
Memahami filosofi sila kedua ini merupakan hal wajib bagi bangsa Indonesa dalam memilah dan memilih hal apa saja yang dapat diterima dan harus ditolak dari pemahaman tentang Kemanusiaan. Memahami sebuah definisi terhadap arti Kemanusiaan haruslah diawali dengan memahami pandangan yang digunakan dalam memaknai arti Manusia. Amerika Serikat dan Belanda dalam menanggapi isu LGBT misalnya. Kedua negara ini memahami Manusia dalam pandangan liberal. Sementara Indonesia yang ber-ideologi Pancasila tentu menolak hal tersebut karena tidak sesuai dengan makna manusia dalam sila kedua. Manusia yang adil dan beradab adalah manusia yang hidup sebagaimana ontologi perbedaan jenis kelamin. Berikut Penulis akan memaparkan beberapa kesalahan dalam memaknai Sila Kemanusiaan.
1.       Merumuskan Sila Kemanusiaan sebagai Bentuk Liberalisme HAM
Kekeliruan ini menganggap bahwa Pancasila adalah penamaan baru terhadap liberalisme HAM. Kekeliruan ini sering terjadi terutama pada isu demokrasi yang memperhadapkan kebebasan dan ketertiban. Di satu sisi, hakikat manusia adalah bebas dalam menentukan pilihan hidupnya. Sementara di sisi yang lain, dibutuhkan norma-norma dalam masyarakat yang mencegah terjadinya pertentangan kebebasan agar terwujud tatanan sosial yang aman dan beradab.
Konsekuensi yang dapat hadir dari kekeliruan ini adalah semakin terbukanya arus westernisasi yang besar yang berdampak pada gaya hidup masyarakat. Sementara pada sektor ekonomi, kapitalisme merupakan hal yang niscaya karena bersumber dari paradigma liberal.
2.       Menyenggamakan Pancasila dan Pelanggaran HAM.
Tidak ada satu pun sila dalam Pancasila yang merestui adanya pelanggaran HAM. Kekeliruan ini adalah kekeliruan yang menganggap bahwa terjadinya pelanggaran HAM seperti genosida, korupsi, terorisme, dan lainnya sebagai bentuk lemahnya Pancasila memaknai HAM.
Perlu dilakukan upaya pembedaan antara das sollen atau yang seharusnya dan das sein atau yang terjadi. Pancasila adalah bentuk dari das sollen yang memuat nilai-nilai yang seharusnya terwujud di Indonesia, termasuk dalam konsep manusia dan memanusiakan manusia yang seharusnya. Sementara genosida, korupsi, terorisme, dan pelanggaran HAM lainnya adalah bentuk das sein yang terjadi dalam bentuk nyata di masyarakat dan bukan karena Pancasila.

 Konsekuensi kekeliruan berpikir ini akan berdampak pada pandangan bahwa Pancasila adalah sebab lemahnya perlindungan HAM. 

PARALOGISME TERHADAP PANCASILA (1): KETUHANAN YANG MAHA ESA
Jumat, 01 Juli 2016 by Unknown in Label:

             Sila pertama ini adalah sila yang paling sering dimaknai keliru dalam penafsirannya. Kekeliruan tafsir inilah yang implikasinya berbuah pada skeptisisme terhadap superioritas Pancasila sebagai dasar negara yang religius. Persoalan Tuhan dan Agama adalah salah satu dari beberapa hal prinsipil yang dimiliki oleh manusia, tidak terkecuali di Indonesia yang memiliki akar sejarah panjang dan kebudayaan beragama yang kuat. Orang bisa saja saling menghina, mengkerdilkan, berperang, hingga saling membunuh karena alasan Tuhan dan Agama.

Perbedaan yang ada di alam semesta adalah kenyataan universal  yang niscaya. Perbedaan keyakinan dalam bertuhan dan beragama pun tak mungkin terhindarkan. Namun persoalan menyikapi perbedaan keyakinan adalah masalah utama yang dimiliki bagi sebuah negara seheterogen Indonesia. Mulai dari perbedaan antar agama, antar mazhab, hingga antar organisasi se-mazhab. Belum lagi persoalan memahami agama berdasarkan lokalitas budaya yang dianggap oleh fundamentalis agama adalah hal yang sesat.

Bentuk-bentuk pemaknaan provokatif cenderung menyesatkan terhadap sila ini akan dijabarkan oleh penulis melalui beberapa fallacy pada bab ini.

1.       Mempertantangkan antara Agama dan Pancasila

Kekeliruan ini adalah kekeliruan epistemologis yang mempertantangkan antara agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih tinggi. Kekeliruan ini biasaya diidap oleh para fundamentalis agama yang menganggap Pancasila adalah agama baru yang bertentangan dengan ajaran agamanya.

Pancasila memiliki dimensi lain yang membedakannya dengan agama. Pancasila adalah ideologi, sejenis dengan Sosialisme, Komunisme, Liberalisme, dan seterusnya. Sementara agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan seterusnya adalah pedoman hidup berkarakter imanen-transenden yang bercirikan konsekuensi eskatologis bagi penganutnya ketika melakukan perbuatan berkaitan tentang ajaran hidup yang dianut. Pancasila sebagai ideologi adalah bentuk hibridasi dari beberapa agama yang diyakini secara berbudaya dan telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Dalam kehidupan bernegara, beberapa negara memang menggunakan agama sebagai dasar negaranya seperti Vatikan dengan Kristen, dan Iran dengan Islam. Namun penting dipahami, kondisi tersebut didukung atas konsensus moral bersama antar penduduk negaranya. Untuk  Republik Islam Iran sendiri misalnya,  terdapat  sekitar 1% atau kurang lebih 600.000 jiwa dari 75 juta jiwa penduduk Iran penduduk non-muslim. Namun alasan utama diterimanya Islam sebagai dasar negara bukan hanya karena mayoritas penduduk Muslimnya, tetapi jaminan hak ekspresi beragama yang berkeadilan dan moderat terhadap penganut agama selain Islam.

Untuk Indonesia sendiri, Pancasila telah melalui rel sejarah yang panjang dan berliku. Ijma ulama (kesepakatan para ulama) Organisasi-organisasi Islam besar Indonesia seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah yang mengakui Pancasila tidak bertentangan dengan Islam adalah bukti bahwa Pancasila merupakan solusi final dalam menyikapi kebutuhan dan persoalan bangsa kedepannya. Mantan Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa, “Penerimaan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Pancasila bukan karena paksaan negara terhadap Islam, melainkan kesadaran bernegara. Pancasila bukan bermaksud menggusur Islam, malah menyuburkannya” (As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. xviii).

Konsekuensi yang kemungkinan besar hadir sebab kekeliruan berpikir ini adalah timbulnya benih radikalisasi masyarakat yang skeptis terhadap negara dalam mengakomodir kebutuhan spritual masyarakat. Masyarakat akan mengalami ‘overdosis beragama’ dimana persolan agama jauh lebih pantas untuk diributkan, dibanding persoalan negara lain seperti politik, ekonomi, hukum, kesehatan, perdagangan, pendidikan, dan persoalan vital negara lainnya.

2.       Mengembar identikkan Sila Ketuhanan dengan Islam

Kekeliruan ini adalah fallacy of dramatic instance yang lebih spesifik dilekatkan pada konteks sila pertama Pancasila. Keberadaan Islam sebagai agama Tauhid atau monoteis dan kata ‘Esa’ pada akhir bunyi sila pertama tidak berarti bahwa Pancasila adalah produk murni Islam, sementara agama dan keyakinan Politeisme, Henoteisme, Animisme, dan Dinamisme tidak sejalan dengan Pancasila.

Dari sisi historis, pembentukan Pancasila juga melibatkan konsensus pemuka agama selain Islam sebagai perwakilan umat beragama di Indonesia seperti Kristen, Hindu dan Budha.
Kekeliruan ini juga merupakan dampak dari pemahaman yang mempertantangkan agama dan Pancasila. Sebab kata ‘Esa’ tersebut dipahami bahwa Pancasila adalah agama baru yang berkarakter monoteisme. Kontroversi pemaknaan kata ‘Esa’ akan dibahas oleh penulis di Kekeliruan pemaknaan berikutnya.

3.       Memaknai Kata Esa sebagai Jumlah Tuhan yang Diakui Negara

Kekeliruan ini merupakan akumulasi dari kekeliruan-kekeliruan sebelumnya. Mempertantangkan agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih tinggi membuat pemaknaan kata ‘Esa’ menjadi kekeliruan pemaknaan berikutnya. Melalui landasan bahwa ‘Esa’ merujuk pada jumlah Tuhan yang diyakini Indonesia, lahirlah kemudian pengkosakataan Agama Pancasila.

Konsekuensi sosiologis yang lahir adalah keberadaan kondisi masyarakat umat beragama yang superordinat dan yang tersubordinatkan oleh penganut keyakinan monoteisme terhadap penganut non-monoteis, misalnya umat Muslim terhadap non-Muslim sebagai mayoritas penganut agama monoteisme di Indonesia.

Penjelasan ini juga merupakan bentuk kritik terhadap upaya-upaya fundamentalis agama yang berhasrat menjadikan agamanya sebagai dasar negara. Implikasi fisik yang lahir adalah kehidupan diskriminatif antar ummat beragama yang cenderung ke arah konflik berdarah. Kondisi ini jelas akan memberikan rasa tidak aman bagi masyarakat dan stabilitas keamanan negara.

4.       Menganggap Penganut Ateisme tidak Ber-Pancasila

Kekeliruan ini menganggap bahwa penganut keyakinan Ateis atau tidak meyakini adanya Tuhan adalah bentuk perbuatan Apancasilais atau tidak ber-Pancasila.

Perlu diklasifikasikan sebelumnya, apakah Pancasila dan Ateisme adalah pedoman hidup Publik atau Privat?. Pancasila adalah pedoman hidup Publik. Karakter ini menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara Ateisme merupakan pedoman hidup privat yang tidak mengatur tata kehidupan publik atau umum. Pedoman hidup Ateisme hanya berlaku bagi kehidupan pribadi penganutnya. Ini berarti bahwa Ateis pun berhak untuk ber-Pancasila. Ia bisa saja dalam keyakinannya tidak mengakui eksistensi Tuhan, namun dalam kehidupan sosialnya ia berkewajiban moral hidup ber-Pancasila terhadap lingkungannya.


PANCASILA DASAR PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA
Minggu, 01 Mei 2016 by Unknown in Label:

Pancasila sebagai pandangan hidup yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang di miliki bangsa Indonesia sendiri. Banyak yang mengartikan pendidikan itu sangat sempit, yang dikatakan pendidikan itu hanya yang berada dibangku persekolahan. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dalam bukunya “Pendidikan”, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter), pikiran (intelect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakat. Sedangkan, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai normatif pada suatu bangsa. Jadi, pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agma, kebudayaan nasional ndonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

1.       Pancasila Menjadi Dasar Pendidikan Nasional Indonesia

Pancasila sebagai pandangan hidup, kesadaran dan cita –cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Jadi, pancasila adlah sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar pendidikan sudah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003, ”Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”. Pancasila menjadi dasar pendidikan nasional karena hubungan etika sosial dengan filosofis pendidikan tak dapat di pisahkan, ia merupakan suatu sistem hirarki yang saling berhubungan satu sama lain. Pendidikan juga syarat akan dan/atau tak dapat dipisakan dengan kepentingan politik. Bagaimana permerintah mencoba menciptakan manusia yang patuh atau pun yang paling ideal menurut ideologi yang di anutnya. Walaupun pancasila sebagai pandangan hidup yang paling ideal sudah menjadi dasar pendidikan nasional kita tetapi, pada realitasnya pendidikan saat ini seakan bebas nilai. Keluaran semua satuan pendidikan hanya sedikit yang dapat mengamalkan pancasila sebagai ideologi yang baik dan benar.

2.       Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia

Fungsi adalah nilai guna yang melekat pada sesuatu sedangkan tujuan adalah konsep paling ideal yang ingin dicapai. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangakan, pendidikan nasional bertujuan untuk menciptakan manusia-manusia pancasilais. Karena jika pendidikan nasional berdasarkan pancasila maka tujuan pendidikan ialah menciptakan manusia-manusia pancasilais. Maka semua kegiatan yang mengangkut pendidikan nasional adalah penanaman moral ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan.

3.       Kritik Pada Pendidikan Nasional Indonesia

a.       Pendidikan Nasional atau Pengajaran Nasional
Regenerasi pemimpin yang baik dalam organisasi negara, organisasi ekonomi, dan organisasi masyarakat tercipta dari sekolah yang baik pula. Sekolah yang seharusnya menekankan pada pembentukan manusia bukan penekanan pada penguasaan ilmu dan pengetahuan. Sekolah seharusnya menggunakan metode manusiawi untuk memanusiakan masusia bukan metode yang bersifat pragtis yang hanya mengusahakan bagaimana ilmu ditransfer secara cepat tanpa memperhatikan penanaman sikap dan nilai. Jika sekolah hanya melakukan pengajaran dan pendidikan mulai dikebumikan, pantas saja sekarang banyak orang yang berilmu tapi mempunyai prilaku yang buruk. Pendidikan berkedok pengajaran, pendidikan saat ini bebas nilai. Bekerja sama lebih baik dari pada berkompetisi.

b.      Kurikulum Sebagai Pedoman Untuk Tujuan Pendidikan; Kurikulum 2013
Kurikulum digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiataan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam kurikulum 2013 mata pelajaran penuh materi normatif dan memiliki konsep yang jelas terhadap lulusan yang ingin di capai. Kurikulum 2013 juga berbasis teknologi informasi yang menekankan penguasaan teknologi informasi bagi pendidik dan peserta didik. Tapi kenyataannya begitu rendahnya penggunaan teknologi informasi bagi pendidik dan peserta didik, terutama didaerah daerah terpencil. Kurikulum 2013 hanya diperuntukan bagi sekolah yang sudah maju, hal ini menyebabkan sentralisasi pendidikan karena kurangnya perhatian terhadap pemerataan pendidikan. Ketika perombakan kurikulum nasional bertabrakan dengan mutu guru dan insfrastruktur. Antara ingin memperbaiki kurikulum dan fokus perbaikan mutu guru dan insfrastruktur. Kurikulum buruk ditangan guru yang baik akan berhasil baik. Sebaliknya, kurikulum yang yang baik ditangan guru yang buruk hasilnya tetap buruk.

c.       Perkuliahan Pancasila; Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

Dunia kampus adalah tempat berkontesnya berbagai macam pandangan hidup yang didapatkan diberbagai macam organisasi internal maupun eksternal. Semua pandangan hidup bersaing menggait massa dengan iming-iming revolusi dan sebagainya. Mahasiswa sebagai pemegang estafet kepemimpinan dihadapkan oleh tantangan yang besar karena harus memilih pandangan hidup diantara banyak pandangan hidup yang ditawarkan olehnya. Pancasila sebagai pandangan hidup, kesadaran dan cita –cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Singkatnya, pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa indonesia sendiri. Perlunya diterapkan kembali perkuliahan pancasila sebagai pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila bagi mahasiswa, karena melihat kurangnya mahasiswa yang beranggapan bahwa pancasila adalah pandangan hidup yang baik dan benar. Kurangnya mahasiswa yang menjadikan pancasila sebagai pedoman untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu penting dikembalikannya perkuliahan pancasila agar mahasiwa dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini, maka pancasila hanya merupakan rangkaian kata-kata indah yang terlukis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan rumusan beku dan mati, serta tidak mempunyai arti lagi bagi kehidupan bangsa kita terkhusus bagi calon pemimpin kita.

Terapi Berfikir Positif
Kamis, 28 April 2016 by Unknown in Label:

Dapatkah kita berhenti berpikir? Sementara untuk berhenti berpikirpun, kita  harus berpikir. Dalam pikiran kita, baik saat itu senang, sedih, marah, bahagia, dan lainnya tersimpan dalam tiap memori pikiran kita. Pikiran membentuk pola pikir seseorang benar atau salah. Seperti misalnya mempengaruhi intelektualitas seseorang, ketika kita meyakini bahwa kita mampu menangkap suatu pengetahuan misalnya, maka hasilnya kita pasti akan bisa. Dalam buku Dr. Ibrahim Elfiky yang berjudul Terapi Berpikir Positif, termuat tentang pengaruh dan kekuatan pikiran. Diantaranya :


  1)     Pikiran mempengaruhi fisik dan kondisi kesehatan seperti yang dapat kita lihat sehari-hari atau terjadi dalam masyarakat, misalnya ketika seseorang terlalu banyak berfikir, bekerja terlalu keras, pola makan yang tidak teratur  hasilnya adalah seperti timbulnya berbagai penyakit jantung, stroke, diabetes dan lain-lain.
  2)     Pikiran mempengaruhi kondisi kejiwaan dan citra diri. Misalnya penilaian terhadap diri sendiri ketika seseorang menilai seorang wanita gemuk, maka wanita tersebut terus menerus memikirnya dan berusaha untuk membentuk tubuh yang proporsional.
  3)     Pikiran membangun optimisme. Misalnya saat kita mengetahui sesuatu dan memberi tahu orang lain, hasil dari pengetahuan tersebut diapresiasi oleh orang lain hingga menimbulkan rasa percaya diri untuk lebih mempelajari sesuatu yang lain dan memberitahukan lagi. Dan begitu seterusnya.
  4)     Pikiran tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kita bisa memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.  Juga tidak terbatas ruang atau jarak. Misalnya kita berpikir untuk berlibur keliling eropa dan membayangkan tempat-tempat yang bisa dikunjungi ketika melihat hasil foto di artikel tertentu mengenai lokasi wisata tersebut.
  5)     Pikiran melahirkan kebiasaan. Misalnya seperti ketika kita menyusun agenda kegiatan untuk tiap harinya. Ketika saya berpikir untuk melakukan kegiatan tersebut secara rutin, maka akan lahirlah suatu kebiasaan.
  6)     Pikiran mempengaruhi alam bawah sadar. Seperti  saat kita mencintai seseorang, tanpa disadari kita memikirkan orang tersebut dan bisa terbawa ke dalam mimpi.

Konsepsi Berpikir Negatif
            Dengan memiliki akal untuk kita berpikir, bukan berarti kita sudah sempurna. Karena bisa saja kita terjebak kepada penyakit berpikir, atau lebih tepatnya berpikir negatif.  Adapun faktor-faktor penyebab berpikir negatif seperti jauh dari Tuhan, pengalaman buruk, tidak jelasnya tujuan, rutinitas negatif, inferior dan  lingkungan yang negatif. Dampak dari berpikir negatif tersebut membuat kita berkata-kata negatif seperti berbohong, mencela bahkan memfitnah.  Hingga membuat perilaku, kebiasaan bahkan takdir kita juga ikut-ikutan negatif. Solusinya hanya satu, mulailah menerapkan terapi berpikir positif. 
Masalah dan kesengsaraan hanya dalam persepsi. Maksudnya, masalah hanya ada dalam diri manusia itu sendiri, masalah sepele menjadi berbeli-belit karena persepsi yang berlebihan mengenai masalah tersebut. Tuhan tidak akan menutup satu pintu kecuali karena Dia membuka pintu yang lebih baik untuk kita. Kita terkadang terlalu berpatokan dan mengharapkan pada satu pintu dan tidak mencoba pintu yang lain yang sebenarnya lebih baik untuk kita. Baiknya, kita belajar dari masa lalu, hidup untuk hari ini, dan merencanakan masa depan. Seburuk atau sebaik apapun masa lalu adalah sebuah pelajaran sehingga kita bisa menjalani hidup pada hari ini, sehingga untuk ke depannya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. 
Tanpa diberitahu pun, kita semua sepakat bahwa berpikir negatif itu buruk dan berpikir positif itu baik. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimanakah terapi berpikir positif itu? Masih dalam buku yang sama, Dr. Ibrahim Elfiky berbagi petunjuk untuk berpikir positif. Berikut petunjuknya;
1)     Optimisme; Lakukanlah semuanya dengan sepenuh hati. Kejar terus sampai berhasil.
2)     Menentukan tujuan; hendak kemana kita ini? Dalam menulis tulisan inipun, penulis memiliki tujuan mengapa harus menulis.
3)     Rutinitas Positif; Pergunakan waktu dengan mengikuti kegiatan yang bermanfaat dan tentunya dengan lingkungan yang positif.
4)     Refleksi Diri; maksudnya, kita meluangkan waktu untuk merenungi apa kesalahan atau masalah kita dan bagaimana cara untuk memperbaikinya. Refleksi diri sama halnya dengan dzikir, meditasi, bertapa atau merenung.

Semoga tulisan tentang berpikir positif ini membawa perubahan positif bagi Anda yang membacanya. Karena apa yang engkau pikirkan akan kembali padamu. Segalanya berawal dari pikiran, menuju perasaan, dan berakhir  kepada tindakan, maka hati-hatilah terhadap pikiran dan perasaan, sebab hal itu menarik apapun yang dipikirkan. Maka, pikirkanlah sebelum kita mengawali segalanya!

Pikiran adalah kekuatan yang sangat efektif. Tanpanya, setiap kekuatan hanya besar saja- Victor Hugo.

KONSTITUSI BERBASIS KEADILAN SOSIAL
by Unknown in Label:

Jika batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut konstitusi, merupakan raga bagi bangunan konstitusional bernegara Indonesia, maka Pancasila yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan jiwa yang menjadi nilai untuk menghidupi seluruh raga konstitusi Indonesia. Seperti dalam gubahan lagu nasional Indonesia, “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya. Maka untuk membangun Indonesia Raya, bangunkan dulu Pancasila yang merupakan rohnya, kemudian bangunkan pasal-pasal konstitusi (batang tubuh) yang menjadi raganya. Jiwa dapat bergerak dan bermanfaat di dunia dengan adanya raga sebagai wadah. Dan raga hanya dapat bergerak dan bermanfaat di dunia jika digerakkan oleh jiwa sebagai pengendali. Jiwa terbatas tanpa raga. Raga tak berdaya tanpa jiwa. 

Membangun Jiwa Konstitusi

            Sebelum turun pada aspek normatif dalam konstitusi, dibutuhkan pemahaman terhadap aspek prinsipil dalam konstitusi itu sendiri. Karena aspek normatif yang berisi kaidah, seperti pada batang tubuh UUD 1945, merupakan perwujudan konkret dari aspek prinsipil yang berisi nilai-nilai dasar, universal, dan cita-cita luhur dalam berbangsa dan bernegara. Kelima prinsip dari Pancasila dan keempat tujuan bernegara termaktub dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Itu berarti, pasal-pasal dalam konstitusi Indonesia harus koheren dengan prinsip-prinsip yang ada pada Pancasila. Maka, membangun raga konstitusi dalam setiap pasal-pasal konstitusi harus koheren dengan jiwa dari konstitusi itu sendiri. Tepatlah jika dinyatakan bahwa konstitusi Indonesia merupakan konstitusi berbasis Ketuhanan, konstitusi berbasis Kemanusiaan, konstitusi berbasis Kebangsaan, konstitusi berbasis Kerakyatan, dan konstitusi berbasis Keadilan sosial. Dalam tulisan kali ini, penulis spesifik membahas konstitusi berbasis keadilan sosial. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk dijawab adalah; bagaimanakah konsepsi keadilan sosial dapat terbentuk dan termaktub dalam konstitusi Indonesia? Dan bagaimana pula perwujudan konstitusi berbasis keadilan sosial tersebut dalam lapangan tanah air Indonesia?

Konsepsi Keadilan Sosial

Terjadinya konflik kepentingan dikarenakan pembagian keuntungan yang tidak merata antara aktor kontrak sosial. Ada yang kerja sedikit, menuai banyak hasil. Sebaliknya, ada yang kerja banyak, menuai sedikit hasil. Di sinilah pentingnya konsepsi keadilan dan institusi keadilan dalam mewujudkan keadilan an sich. Jika keadilan adalah subyek dalam sistem sosial, maka apa sebenarnya subyek atau bahasan utama dalam keadilan itu sendiri? John Rawls menyatakan bahwa subyek keadilan bergantung pada penerapan hak dan kewajiban.[1]

Keadilan sebagai cita-cita bersama dalam suatu masyarakat dapat diwujudkan dengan adanya kontrak sosial, di mana dalam kontrak sosial tersebut setiap individu dapat menentukan manakah yang adil dan yang tidak adil. Kesetaraan sebagai posisi asali setiap individu ini penting mengingat kedudukan manusia sebagai makhluk yang rasional. Hasil dari kontrak sosial tersebutlah yang akan menentukan bagaimana prosedur perwujudan keadilan dan bagaimana pula sampai pada substansi keadilan.

Sederhananya, keadilan adalah penuntasan hak dan kewajiban. Rincinya, keadilan adalah memberikan hak orang lain yang menjadi kewajiban diri dan menerima hak diri yang menjadi kewajiban orang lain. Dalam hukum, keadilan merupakan salah satu tujuan, di mana keadilan tersebut haruslah pula mencerminkan kemanfaatan dan utamanya kepastian hukum. Menurut Hans Kelsen, sudah lazim bila kita melawankan konsep "kewajiban" dengan konsep "hak," dan memberikan prioritas peringkat kepada hak. Dalam lingkup hukum, kita berbicara tentang "hak dan kewajiban," dan bukan "kewajiban dan hak," seperti halnya dalam lingkup moral, di mana penekanan yang lebih besar diberikan kepada kewajiban; dan kita berbicara tentang hak sebagai sesuatu yang berbeda dari hukum.[2]

Keadilan Sosial dalam Pancasila

Mewujudkan suatu keadilan berarti menuntuskan hak dan kewajiban. Di samping hak dan kewajiban manusia sebagai suatu individu, tidak kalah penting pula kedudukan hak dan kewajiban manusia sebagai suatu makhluk sosial. Maka, selain terdapat hak dan kewajiban individu, terdapat pula hak dan kewajiban sosial, yang mana dengan penuntasan hak dan kewajiban sosial itulah baru dapat diwujudkan suatu keadilan sosial. Konsepsi keadilan sosial menyimpan sejarah yang panjang sehingga dapat masuk dalam suatu susunan Pancasila yang digagas oleh Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya.

Telah sampai umat manusia pada suatu zaman di mana setiap rakyat dapat menentukan pilihannya sendiri, dapat menentukan arah kebijakan publik, bahkan dipilih untuk menjadi pemimpin rakyat tersebut. Inilah zaman demokrasi. Di mana kekuasaan mutlak pada satu orang, semisal raja, tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman tersebut. Tetapi, pertanyaannya kemudian apakah dengan demokrasi politik yang dimaksud dapat meningkatkan kesejahteraan hidup para rakyat tersebut. Maka tepatlah perkataan Adler yang sering dikutip Bung Karno itu, bahwa jangan memberikan Undang-Undang Dasar pada seseorang yang tengah lapar. Itu berarti, demokrasi politik saja tidak cukup, dibutuhkan pula demokrasi ekonomi.


Demokrasi politik yang secara de jurie diperoleh rakyat Indonesia setelah revolusi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 tidak diiringi dengan kedaulatan rakyat untuk betul-betul merdeka secara politik, atau meraih demokrasi politik secara de facto. Baru pada reformasi tahun 1998, hak-hak politik rakyat sepenuhnya berdaulat, setelah sebelumnya dibredel, dibungkam, diasingkan, dan dilucuti oleh rezim pelbagai orde. Tetapi, demokrasi politik tidak serta merta mendatangkan demokrasi ekonomi. Rakyat memang merdeka memilih dan dipilih, tetapi rakyat yang tidak memiliki rumah tetap saja tidak dapat beristirahat dengan tenang, tetap saja kelaparan, tetap saja miskin dan tidak sejahtera.[3]

Singkatnya, hak-hak politik tidak berjalan berkelindan dengan hak-hak ekonomi setiap warga negara dalam menikmati kekayaan Negara. Semestinya, demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi sehingga tercipta suatu demokrasi sosial. Sila keempat bertujuan untuk mewujudkan sila kelima. Maka, demokrasi politik, ekonomi dan sosial tersebut bertujuan untuk mewujudkan keadilan politik, keadilan ekonomi, dan keadilan sosial. Praktis, dibutuhkan suatu konstitusi yang tidak sekadar memuat kaidah berpolitik negara seperti konstitusi Amerika. Namun juga memuat kaidah berekonomi negara dengan pasar, dan juga kaidah kesejahteraan sosial yang disenggelarakan negara kepada segenap masyarakatnya. Setelah amandemen keempat perubahaan keempat pada tahun 2002, konstitusi Indonesia dapatlah dikategorikan sebagai konstitusi universal yang memuat kaidah politik bernegara, kaidah ekonomi berbisnis, dan kaidah sosial bermasyarakat.

Keadilan Sosial dalam Pasal Konstitusi

Dalam kelima prinsip yang ada pada Pancasila, dapat dinyatakan bahwa Sila Keadilan sosial merupakan sila yang paling konkret dan merupakan sila yang menjadi tujuan prinsipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk apa kita mengesakan Tuhan? Agar kita dapat berlaku adil baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Untuk apa kita menjadi manusia? Agar kita dapat berlaku adil dan beradab yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Untuk apa kita bersatu sebagai suatu bangsa Indonesia? Agar kita dapat berlaku adil bagi komunitas impian kita yang dipersatukan oleh kesamaan nasib pada masa lalu, perjuangan pada masa kini, dan harapan pada masa depan. Untuk apa kita menjunjung demokrasi? Agar kita semua dapat berlaku adil dalam menghargai setiap hak-hak individu dan hasil keputusan bersama. Jelaslah, bahwa setiap sila memang diperuntukkan demi tercapainya keadilan sosial dalam bermasyarakat, berbangsa, bermanusia, dan bertuhan.

Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita sebut sebagai Konstitusi Keadilan Sosial (Social Justice Constitution), sehingga semua norma yang tercermin dalam pelbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen kebijakan tertulis lainnya, dan semua tindakan-tindakan pemerintahan yang tercermin dalam program-program pembangunan disertai anggaran pendapatan dan belanja Negara dan daerah masing-masing, hendaklah diorientasikan untuk meningkatkan kualitas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[4]

Konstitusionalisasi Keadilan Sosial

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 bab XIV tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, dijelaskan secara gamblang bahwa negara Indonesia merupakan negara kesejateraan sosial. Atau yang oleh Hatta sebut sebagai negara pengurus. Maka, sudah menjadi tugas dari penyelenggara negara untuk memperdekat jarak antara kesenjangan si kaya dan si miskin.  Bab tersebut juga mengatur tentang haluan kebijakan jaminan sosial nasional. Mewujudkan konstitusi berbasis keadilan sosial tersebut dapat disebut dengan istilah konstitusionalisasi keadilan sosial, yaitu upaya mewujudkan konstitusi berbasis keadilan sosial, baik dalam bentuk perundang-undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar, maupun dalam ranah praktik berbangsa dan bernegara.

Undang-Undang merupakan produk demokrasi atau produk kehendak orang banyak, lebih tepatnya. Meskipun telah memenuhi prosedur berdemokrasi, misalnya telah disetujui oleh DPR dan Presiden, suatu Undang-Undang belum tentu memenuhi suaru keadilan dan kebenaran konstitusi. Suara mayoritas tidak identik dengan keadilan dan kebenaran konstitusi. Maka, jika bertentang dengan Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi, suatu Undang-Undang dapat dinyatakan tidak mengikat secara umum, meski hanya disetujui oleh 5 dari 9 hakim Mahkamah Konstitusi. Melalui peradilan konstitusi ini ditegaskan bahwa Undang-Undang Dasar dapat benar-benar ditegakkan dalam praktik penyelenggaran negara. [5]

Jika suatu undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau konstitusi, maka pihak yang berhak mengajukan permohonan pengujian Undang-udang adalah: (i) perorangan atau kelompok warga negara; (ii) kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia; (iii) badan hukum privat atau badan hukum publik; atau (iv) lembaga negara.[6]

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bahwa keempat subyek hukum tersebut dapat membuktikan dirinya mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang atau ketentuan undang-undang yang bersangkutan sehingga ia memohon agar undang-undang atau bagian dari ketentuan undang-undang dimaksud dinyatakan tidak mengikat secara umum.

Demi kesejahteraan dan kemakmuran nasional, segala kebijakan publik haruslah taat terhadap aturan hukum, utamanya konstitusi. Kebijakan publik yang tidak berdasar pada konstitusi sebagai aturan hukum tertinggi merupakan sebuah penyimpangan terhadap ideologi dan konstitusi. Penyimpangan tersebut dapat diamati dari kecenderungan pembangunan hukum ekonomi dalam realitas sosial Indonesia, dewasa ini. Penyimpangan yang dilakukan oleh pengambil kebijakan mengarahkan pembangun hukum ekonomi Indonesia pada persetujuan World Trade Organization, suatu organisasi perdagangan internasional, yang mana di dalamnya terdapat keinginan-keinginan pihak asing yang tidak jarang bertentangan dengan Konstitusi Negara Indonesia. Persoalan tersebut diperparah jika kesepakatan dalam organisasi dagang internasional tersebut diratifikasi dalam perundang-undangan Negara Indonesia, mulai dari Peraturan Daerah, Undang-Undang, atau bahkan hingga pada amandemen Undang-Undang Dasar dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

    Asumsi tersebut dapat dibuktikan dari beberapa Undang-Undang dalam bidang hukum ekonomi yang diuji materil oleh banyak pihak kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Walhasil, setelah melakukan penafsiran Undang-Undang yang dimaksud terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membatalkan beberapa Pasal dalam Undang-Undang tersebut karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

    Adapun Undang-Undang yang dimaksud antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21-22/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 002/PUU-I/2003, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 03/PUU-VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 036/PUU-X/2012.[7]

    Lima Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tersebut, dapat dijadikan bukti betapa menyimpanganya pembangunan hukum ekonomi Konstitusi sebagai aturan hukum tertinggi Negara Republik Indonesia. Bahwa betapa pihak asing yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan yang kurang sadar secara ideologis dan konstitusional telah mengarahkan pembangunan hukum ekonomi Indonesia ke arah yang tidak semestinya. 

Penutup

Bahwa konsepsi keadilan sosial dapat terbentuk dan termaktub dalam konstitusi Indonesia melalui perjuangan panjang dan pergolakan pemikiran pendiri bangsa Indonesia yang menciptakan Pancasila sebagai jiwa konstitusi dan Pasal-Pasal UUD 1945 sebagai raga konstitusi, yang kemudian telah disempurnakan melalui amandemen hingga yang keempat kalinya pada tahun 2002. Adapun perwujudan konstitusi berbasis keadilan sosial dalam lapangan tanah air Indonesia telah dirinci dalam beberapa undang-undang dan kebijakan publik sebagai praktik penyelanggaraan negara. Ketika suatu kebijakan publik bertentangan dengan konstitusi, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi. 

Maka, saran penulis agar kiranya pembangunan hukum ekonomi yang merupakan bagian dari kebijakan publik demi keadilan sosial harus sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi yang ada pada Pancasila dan Pasal-Pasal Konstitusi. Dan agar kiranya segenap bangsa Indonesia memperdalam keilmuan dan mengamalkan keilmuan tersebut, khususnya keilmuan konstitusi Pancasila demi mewujudkan tujuan bernegara Indonesia.


[1] John Rawls. Teori Keadilan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2011, hal 8.
[2] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni. Nusa Media, Bandung. 2014, hal 143.

[3] Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta. 1964, hal 487.
[4] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial. LP3ES, Jakarta. 2015, hal 89.
[5] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2014, hal 271.
[6] Mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia lihat dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Adapun untuklegal standing pemohon lihat Pasal 51 UU. No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[7] Candra Irawan, Dasar-Dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia. Mandar Maju, Bandung. 2013, hal v.