Sila
pertama ini adalah sila yang paling sering dimaknai keliru dalam penafsirannya.
Kekeliruan tafsir inilah yang implikasinya berbuah pada skeptisisme terhadap
superioritas Pancasila sebagai dasar negara yang religius. Persoalan Tuhan dan
Agama adalah salah satu dari beberapa hal prinsipil yang dimiliki oleh manusia,
tidak terkecuali di Indonesia yang memiliki akar sejarah panjang dan kebudayaan
beragama yang kuat. Orang bisa saja saling menghina, mengkerdilkan, berperang,
hingga saling membunuh karena alasan Tuhan dan Agama.
Perbedaan yang
ada di alam semesta adalah kenyataan universal yang niscaya. Perbedaan keyakinan dalam
bertuhan dan beragama pun tak mungkin terhindarkan. Namun persoalan menyikapi
perbedaan keyakinan adalah masalah utama yang dimiliki bagi sebuah negara
seheterogen Indonesia. Mulai dari perbedaan antar agama, antar mazhab, hingga
antar organisasi se-mazhab. Belum lagi persoalan memahami agama berdasarkan
lokalitas budaya yang dianggap oleh fundamentalis agama adalah hal yang sesat.
Bentuk-bentuk pemaknaan
provokatif cenderung menyesatkan terhadap sila ini akan dijabarkan oleh penulis
melalui beberapa fallacy pada bab
ini.
1. Mempertantangkan antara Agama dan Pancasila
Kekeliruan ini adalah kekeliruan epistemologis yang mempertantangkan
antara agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih tinggi. Kekeliruan
ini biasaya diidap oleh para fundamentalis agama yang menganggap Pancasila
adalah agama baru yang bertentangan dengan ajaran agamanya.
Pancasila memiliki dimensi lain yang membedakannya dengan agama. Pancasila
adalah ideologi, sejenis dengan Sosialisme, Komunisme, Liberalisme, dan
seterusnya. Sementara agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu,
dan seterusnya adalah pedoman hidup berkarakter imanen-transenden yang bercirikan
konsekuensi eskatologis bagi penganutnya ketika melakukan perbuatan berkaitan tentang
ajaran hidup yang dianut. Pancasila sebagai ideologi adalah bentuk hibridasi
dari beberapa agama yang diyakini secara berbudaya dan telah berlangsung dalam
kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam kehidupan bernegara, beberapa negara memang menggunakan agama
sebagai dasar negaranya seperti Vatikan dengan Kristen, dan Iran dengan Islam.
Namun penting dipahami, kondisi tersebut didukung atas konsensus moral bersama
antar penduduk negaranya. Untuk Republik
Islam Iran sendiri misalnya, terdapat
sekitar 1% atau kurang lebih 600.000 jiwa dari 75 juta jiwa penduduk
Iran penduduk non-muslim. Namun alasan utama diterimanya Islam sebagai dasar
negara bukan hanya karena mayoritas penduduk Muslimnya, tetapi jaminan hak
ekspresi beragama yang berkeadilan dan moderat terhadap penganut agama selain
Islam.
Untuk
Indonesia sendiri, Pancasila telah melalui rel sejarah yang panjang dan
berliku. Ijma ulama (kesepakatan para ulama) Organisasi-organisasi Islam besar
Indonesia seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah yang mengakui Pancasila
tidak bertentangan dengan Islam adalah bukti bahwa Pancasila merupakan solusi
final dalam menyikapi kebutuhan dan persoalan bangsa kedepannya. Mantan
Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan bahwa,
“Penerimaan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Pancasila bukan karena paksaan negara
terhadap Islam, melainkan kesadaran bernegara. Pancasila bukan bermaksud
menggusur Islam, malah menyuburkannya” (As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa,
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. xviii).
Konsekuensi
yang kemungkinan besar hadir sebab kekeliruan berpikir ini adalah timbulnya
benih radikalisasi masyarakat yang skeptis terhadap negara dalam mengakomodir
kebutuhan spritual masyarakat. Masyarakat akan mengalami ‘overdosis beragama’
dimana persolan agama jauh lebih pantas untuk diributkan, dibanding persoalan
negara lain seperti politik, ekonomi, hukum, kesehatan, perdagangan,
pendidikan, dan persoalan vital negara lainnya.
2. Mengembar identikkan Sila Ketuhanan dengan
Islam
Kekeliruan
ini adalah fallacy of dramatic instance yang
lebih spesifik dilekatkan pada konteks sila pertama Pancasila. Keberadaan Islam
sebagai agama Tauhid atau monoteis dan kata ‘Esa’ pada akhir bunyi sila pertama
tidak berarti bahwa Pancasila adalah produk murni Islam, sementara agama dan
keyakinan Politeisme, Henoteisme, Animisme, dan Dinamisme tidak sejalan dengan
Pancasila.
Dari sisi
historis, pembentukan Pancasila juga melibatkan konsensus pemuka agama selain
Islam sebagai perwakilan umat beragama di Indonesia seperti Kristen, Hindu dan
Budha.
Kekeliruan
ini juga merupakan dampak dari pemahaman yang mempertantangkan agama dan
Pancasila. Sebab kata ‘Esa’ tersebut dipahami bahwa Pancasila adalah agama baru
yang berkarakter monoteisme. Kontroversi pemaknaan kata ‘Esa’ akan dibahas oleh
penulis di Kekeliruan pemaknaan berikutnya.
3. Memaknai Kata Esa sebagai Jumlah Tuhan yang
Diakui Negara
Kekeliruan
ini merupakan akumulasi dari kekeliruan-kekeliruan sebelumnya. Mempertantangkan
agama dan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih tinggi membuat pemaknaan
kata ‘Esa’ menjadi kekeliruan pemaknaan berikutnya. Melalui landasan bahwa
‘Esa’ merujuk pada jumlah Tuhan yang diyakini Indonesia, lahirlah kemudian
pengkosakataan Agama Pancasila.
Konsekuensi
sosiologis yang lahir adalah keberadaan kondisi masyarakat umat beragama yang
superordinat dan yang tersubordinatkan oleh penganut keyakinan monoteisme
terhadap penganut non-monoteis, misalnya umat Muslim terhadap non-Muslim
sebagai mayoritas penganut agama monoteisme di Indonesia.
Penjelasan
ini juga merupakan bentuk kritik terhadap upaya-upaya fundamentalis agama yang
berhasrat menjadikan agamanya sebagai dasar negara. Implikasi fisik yang lahir
adalah kehidupan diskriminatif antar ummat beragama yang cenderung ke arah
konflik berdarah. Kondisi ini jelas akan memberikan rasa tidak aman bagi
masyarakat dan stabilitas keamanan negara.
4. Menganggap Penganut Ateisme tidak Ber-Pancasila
Kekeliruan
ini menganggap bahwa penganut keyakinan Ateis atau tidak meyakini adanya Tuhan
adalah bentuk perbuatan Apancasilais atau tidak ber-Pancasila.
Perlu diklasifikasikan
sebelumnya, apakah Pancasila dan Ateisme adalah pedoman hidup Publik atau
Privat?. Pancasila adalah pedoman hidup Publik. Karakter ini menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara Ateisme merupakan pedoman
hidup privat yang tidak mengatur tata kehidupan publik atau umum. Pedoman hidup
Ateisme hanya berlaku bagi kehidupan pribadi penganutnya. Ini berarti bahwa
Ateis pun berhak untuk ber-Pancasila. Ia bisa saja dalam keyakinannya tidak
mengakui eksistensi Tuhan, namun dalam kehidupan sosialnya ia berkewajiban
moral hidup ber-Pancasila terhadap lingkungannya.