Quid Est Veritas?(apakah kebenaran itu?), tanya Pontius pilatus ketika melepas Yesus Kristus dari pemidanaan, karena ia tidak menjumpai kesalahan kepadanya atas dasar orang yang dihadapkannya. Namun demikian, Pontinus pilatus adalah seorang politikus yang tidak ingin kehilangan popularitas dan ingin tetap menjaga citranya dihadapan orang-orang dan para imam yahudi, sehingga ia tampak tidak bersungguh-sungguh dalam menanyakan hal itu. Buktinya, ia kemudian menyerahkan Kristus ke orang-orang yahudi untuk disalibkan sambil ia mencuci tangan sendiri.
Kisah diatasmerupakan satu dari sekian banyaknya kisah yang seharusnya menyadarkan kita untuk menyadari betapa pentingnya untuk mengetahui apakah kebenaran itu?, mengingat hal ini merupakan hal yang sangat mendasar dari pengatahuan manusia. Mengapa? Karena tidaklah mungkin bagi kita untuk melakukan serangkaian tindakan apapun tanpa harus mengetahui tentang “kebenaran”. Tapi coba dibayangkan, jika dalam kehidupan itu sendiri, dalam melakukan serangkaian tindakan, kita sendiri tidak mengetahui kebenaran itu sendiri? Maka ketidaktahuan tersebut akan membawa seseorang melakukan tindakan tanpa arah dan merupakan sebuah pekerjaan yang sia-sia. Dan dalam kehidupan dewasa sekarang, ditengah hiruk pikuknya kehidupan urban dan arus informasi yang tidak terkendali, sangat banyak seringkali kita temui keadaan-keadaan seperti ini yang terjadi.
Maka dari itu perlulah untuk mengetahui apakah kebenaran itu?!Lalu dari upaya untuk mengetahui itu, kita dapat menentukan indikator-indikator atau tolak-ukur, agar kita bisa melakukan penghukuman terhadap setiap hal tentang kebenaran atau kesalahannya. Mengingat kebenaranmerupakan titik awal dari awal dari perjalanan pengetahuan manusia, yang pada dasarnya manusia yang tidak memiliki titik awal pengetahuan, tidak akan mungkin dapat meyusun, mengenali dan menafsirkan informasi apapun. Oleh karena itu tindakan mempresepsikan (menyusun , mengenai dan menafsirkan informasi apapun) tidak mungkin lahir tanpa adanya pengetahuan akan kebenaran dalam pemahaman manusia.
Nah, bagi anda yang telah mau meluangkan waktu untuk mampir ke artikel ini lalu bisa sampai pada bagian pada kalimat ini, saya ucapkan selamat kepada anda. adalah hal yang luar biasa untuk ditemui saat ini, kemauan seseorang untuk membaca dan bagi saya sendiri, hal tersebut patut di apresiasi. Mengapa? karenadengan membaca, anda sebenarnya sadar ataupun tidak sadar telah membuka jendela dunia, dan menolak untuk terjerumus jatuh pada gerbang kebodohan. Maka dari itu izinkanlah saya untuk menemani anda untuk menikmati indahnya panorama pengetahuan dari sudut jendela dunia yang telah anda buka ini.
Teori kebenaran.
Sungguh kebenaran itu memang ada. Kebenaran dalam hal ini bukan kebenaran secara religius dan metafisis, melainkan dari segi epistemologis, yang artinya kebenaran harus dilihat dari sudut epistemologis. Epistemologis berasal dari bahasa yunani episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang artinya diskursus atau teori. Dalam bahasa Indonesia berarti teori atau diskursus mengenai pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, sumber-sumber dan ruang lingkup ilmu pengetahuan. Dari segi epistemologis, terdapat berbagai sudut pandang mengenai kebenaran. Dalam hal ini diperlukan teori-teori kebenaran.
Nah, sebelum kita melangkah lebih jauh untuk membahas mengenai tentang berbagai teori- teori kebenaran, ada baiknya kita perlu mengetahui mengenai apa itu teori? Secara etimologi, teori berasal dari dua suku kata, yaitu Theo dan ria. Theo artinya Tuhan dan ria artinya perenungan. Term tersebut pertama kali di keluarkan oleh Aristoteles. Ada berbagai macam teori yang kita ketahui pada saat ini, seperti teori darwin milik Charless Darwin yang membicarakan asal muasal manusia dari kera, ataupun teori gravitasi Newton yang membicarakan gaya-tari menarik bumi, dst. Yang praktis kita ketahui pastilah awal dari timbulnya suatu teori dimulai dari suatu kesadaran perenungan akan suatu realitas, jadi teori merupakan perenungan terhadap sesuatu. Maka, teori adalah pernyataan (proposisi) yang berhubunga (korespondesi atau koheren) dengan realitas (Mundiri. Logika. 2011;hal 189)
Lalu mengapa teori kebenaran itu penting? (mengingat pengantar pembahasan diatas tadi) karena hal itu menyangkut kehidupan kognitif setiap orang. Apabila seseorang menganalisis suatu situasi atau suatu pernyataan, atau mengingat suatu kenangan, ataupun melakukan apapun dengan otak, seseorang pasti memerlukan ukuran kebenaran. Kehidupan kognitif setiap orang merupakan perjuangan yang terus-menerus mendapat kebenaran. Apakah yang kelihatan samar-samar diseberang sungai itu merupakan sebuah gubuk?, kalau saya datang ke rumah baso malam ini, apakah ia ada di rumah? karena ia tidak mempunyai telfon rumah apalagi handphone?, apakah penerbangan saya dengan maskapai itu tepat waktu mengingat maskapai tersebut biasa terlambat?, mengapa soeharto sekuat itu dapat lengser dari jabatan presiden?
Dalam epistemologi, terdapatempat teori besar tentang kebenaran, yaitu teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, teori kebenaran pragmatis dan teori kebenaran semantik. Kategorisasi tersebut (epistemologi) berdasarkan pada sifat terjadinya pengetahuan, atau berdasar pada sumber pengetahuan dan sifat kelahiran teori pengetahuan itu, dikarenakan adanya paham baru yang melatarbelakangi munculnya pengetahuan itu. Hal ini disebabkan oleh paham klasik yaitu empirisme, idealisme, pragmatisme, realisme, rasionalisme serta paham baru yang berlandaskan pada bahasa yaitu paham analitikabahasa.Maka sebenarnya dari segi historis, ada berbagai macam bentuk teori kebenaran yang lahir dalam artian baru dan berkembang, yang jika di bagi dari segi historisnya, maka teori-teori tersebut dapat kita kategorisasikan, setidaknya, ke dalam dua bentuk kategori, yaitu teori kebenaran klasik dan teori kebenaran modern.
Teori kebenaran klasik berbicara mengenai teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, teori kebenaran pragmatis. Lalu teori kebenaran modern, terdapat teori kebenaran semantik, teori kebenaran non-deskripsi, teori kebenaran logis berlebihan, teori kebenaran konsensus dan teori kebenaran otoritarianisme.
Teori kebenaran klasik.
Teori kebenaran klasik terdiri atas kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi dan teori kebenaran pragmatis yang masing-masing teori kebenaran mempunyai basis atau dasar berpijak sendiri. Teori kebenaran korespondesi berbasisfakta atau realitas, teori kebenaran koherensi berpangkal apa yang di yakini atau yang di teguhkan atau di percaya dalam pikiran dan teori kebenaran pragmatis bersandar pada guna manfaat pada sesuatu.
• Teori kebenaran korespondensi
The correspondence of truthatau kebenaran korespondensi merupakan teori kebenaran paling tua, yaitu sejak zaman Aristoteles, yang bertolak pada pernyataannya yaitu “… to say what is that it is or of what is not that is not, is true”. Menurut teori ini, suatu pernyataan bahwa “didalam kulkas ada buah apel” adalah benar apabila didalam kulkas memang ada buah apel. Begitu pula pernyataan bahwa nama saya auli adalah benar karena nama saya memang aulia. Teori ini kemudian dipertegas oleh pernyataan filsuf sekaligus juga teolog abad XIII Thomas Aquinas: veritas est adaequatio rei et intelluctus yang kalau di terjemahkan secara bebas “kebenaran merupakan kesesuaian antara sesuatu yang dibicarakan dengan yang ada dalam pikiran”. Senada dengan pendapat Louis katsoff dalam bukunya pengantar filsafat (1986) yang menyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan faktanya (fakta yang actual being).
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengetahuan atau yang tercermin dalam proposisi yang benar dapat dibuktikan langsung pada fakta atau objek yang diindrai, atau yang dapat dijabarkan langsung pada dunia empirik (empiris, experience; pengalaman)atau pengalaman langsung yang dapat diamati indra. Pengetahuan indrawi atau pengetahuan yang berdasar pada pengalaman indra kebenarannya dapat dibuktikan dengan mengacu pada objek pengetahuan itu. Kekhilafan atau kesalahan dapat terjadi karena kesalahan pengindraan atau kurang cermatnya mengindrai dan atau indra sudah tidak normal.
Teori kebenaran korespondensi berpangkal dari asumsi bahwa definisi kebenaran sesutu yang dapat dilihat (diindrai). Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua yang ada di dunia ini merupakan hal-hal yang dapat di lihat saja. Ada hal-hal yang berada dalam pikiran atau berupa nilai-nilai. Oleh karena itulah dalam hal semacam ini kebenaran bukan sesuatu yang dapat dilihat saja, melainkan juga dapat dinalar atau dapat diterima oleh pemikiran. Dengan demikian, sesuatu itu benar bukan hanya adanya korelasi antara pernyataan dan sesuatu yang benar-benar ada secaa faktual dan kasatmata, melainkan suatu pernyataan atau keyakinan itu benar kalau sesuai atau confirm to pernyataan atau keyakinan lainnya atau niai-nilai yang ada. Hal semacam itu membawa kepada teori kebenaran yang lain darpda teori kebenaran korespondesi, yaitu teori kebenaran koherensi.
• Teori kebenaran koherensi
Teori kebenaran koherensi merupakan salah satu dari dua teori kebenaran klasik. Sebagaimana yang telah dikemukakan tadi bahwa yang terdahulu adalah teori kebenaran korespondensi. Menurut kebenaran koherensi menyatakan suatu pernyataan atau sesuatu itu benar atau salah ialah apakah suatu pernyataan atau sesuatu itu sesuai dengan pernyataan atau sesuatu yang telah terhukumi atau ternilai mutlak benar atau salahnya. Robert C. Solomon mengemukakan kebenaran koherensi sebagai a statement or a belief is it true if and only if “it coheres” or ties with other statement or belief.
Teori ini dibangun oleh oleh para epistemolog yang bertolak pada sikap ontologis bahwa objek berupa hal abstrak sehingga diandaikan ia hadir dalam kesadaran subjek. Paham ini dianut pula oleh mereka yang mengembangkan paham logika positivisme.Menurut teori ini bahwa “…..to say that what is said (ussually called judment, belief, or proposition) is true or false is to say that it cohere with a system of other thing which are said; that it is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the element in a system of pure mathematics are related’(White, 1970) Atau dapat dikemukakan juga bahwa proposisi bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan dari proposisi terdahulu yang bernilai benar dalam suatu sistem pemikiran yang saling berhubungan secara logik-sistematik. Sebagai contoh jika kita ingin membuktikan bahwa runtuhnya Majapahit pada tahun 1478 atau 1400 Çaka dengan candra sangkala Sirna Ilang Kertaning Bumi. Maka dalam pembuktikan kebenaran itu kita tak dapat melihat langsung seperti para epistemolog realis tetapi harus melalui proposisi-proposisi terdahulu yang mewartakan tentang runtuhnya Majapahit. Proposisi itu dapat ditemukan dalam catatan sejarah atau catatan lain yang menguak kejadian itu. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah atau data-data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan,
Begitu pula bila yang akan diuji itu adalah proposisi logika dan atau matematik. Maka, pengujiannya juga harus kembali kepada logika yang digunakan dan matematik yang dibangun. Teori kebenaran koheren di anut oleh paham rasionalisme dan atau paham idealisme ontologis.
• Teori Kebenaran Pragmatik
A.R. White (1970) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan bahwa teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatik.Paham Pragmatisme sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer (transisi) karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filusuf besar Amerika yaitu C.S.Pierce, William James dan John Dewey. White menjelaskan bahwa menurut paham ini “….. an idea —a term used loosely by these philosophers to cover any opinion, belief, statement, or what not”— is an instrument with a particular function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not.”
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini yaitu bahwa penganut pragma-tisme meletakan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman. Pernyataan itu adalah benar.
Jadi menurut teori ini bahwa suatu pengetahuan atau proposisi bernilai benar manakala proposisi itu memiliki konsekuensi praktis sebagaimana yang melekat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri.Hal ini karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu dikarenakan bahwa dalam praktiknya apa yang diang-gap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain, bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja —pengetahuan atau proposisi— dapat dimanfaatkan secara praktis.
Teori kebenaran Modern.
Teori kebenaran modern merupakan teori-teori tentang kebenaran yang lahir/tumbuh dan berkembang di era modern (abad ke-19/20). Yang sebenarnya jika kita lihat dan perhatikan dengan seksama, merupakan turunan atau pengembangan dari teori-teori kebenaran klasik.
• Teori Kebenaran Sintaksis
Kebenaran pengetahuan di dalam teori ini bahwa proposisi dianggap benar dalam hubungan atau mengacu pada arti atau makna yang dikandung oleh proposisi atau pengetahuan. Oleh karenanya, teori ini memiliki tugas untuk menguak keabsyahan (validitas) proposisi terhadap referensi yang diacunya (dapat mengacu pada pengalaman atau pada idea) si pemilik pengetahuan.
Di dalam teori ini dibedakan antara arti dalam bentuk sintaksis atau menurut struktur sintaksis atau tata bahasa atau gramatika. Artinya, bahwa proposisi itu memiliki arti dan bahkan memiliki kebenaran dalam hubungannya dengan syarat tata bahasa. Jadi apabila pernyataan itu tak mengikuti dan memenuhi syarat gramatika atau bahkan ke luar dari hal yang di syaratkan tata bahasa maka proposisi itu tak memiliki arti dan makna sama sekali. Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara para filusuf analitika bahasa terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Freiederich Schleiermacher (1768-1834) Menurut Schleiermacher sebagaimana dikemukakan oleh Poespo-projo (1987) bahwa pemahaman adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi itu diung-kapkan. Disini terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
Di samping teori sintaksis terdapat pula teori semantik.
• Teori kebenaran semantik
Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi itu mempunyai nilai kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu menunjukkan makna yang sesung-guhnya dengan menunjuk pada referensi atau mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Juga, arti yang dikemukakan itu adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan esoterik yaitu arti yang sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam pernyataan itu dengan mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran ini dianut oleh para filusuf analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca Bertrand Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa.
Teori kebenaran semantik sebenarnya berpangkal pada pendapat Aristoteles yang bertolak bahwa pengetahuan selalu bertolak pada objek yang common sensible. White (1970) menyatakan “….. To say of what is that it is or of what is not, is true” atau bahkan mengacu pada teori kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan bahwa “ ….. that truth consists in correspondence of what is said and what is fact” Dengan demikian, teori kebenaran semantik menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu memiliki arti. Arti ini dengan menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi) yaitu objek konkret yang common sensible.
Di dalam teori kebenaran semantik ada beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu memiliki arti esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi secara praktis. Arti yang terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap pemakai makna pernyataan itu. Sikap itu antara lain adalah sikap episte-mologis skeptis, sikap ini adalah kebimbangan taktis atau sikap ragu untuk mencapai kepastian (certainty) dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan agar dicapai makna yang esoterik yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi mengandung keraguan di dalamnya. Sikap lain adalah sikap epistemologik yakin dan ideologik. Di dalam sikap ini dikandung makna bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur, dan tidak memiliki sifat pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada kepercayaan yang ada pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini menghasilkan makna pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi. Akibat sematiknya adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan itu. Artinya apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi pengguna pernyataan itu.
• Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh para penganut filsafat fungsionalisme. Menurut paham ini pada dasarnya suatu pernyataan akan memiliki nilai benar amat tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan bahwa “….. to say, it is true that not many people are likely to do that, is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do that and not a way of talking about the sentence used to express the opinion”. Menilik pernyataan ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa “The theory non-descriptive gives us an important insight into function of the use of “true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.
Sebagai contoh di dalam budaya Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa istilah yang maknanya diketahui secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan deskripsi arti yang dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti tetapi arti itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya.Contoh lain, istilah “bulan”.
• . Teori Kebenaran Logis Berlebihan (Logical-superfluity of truth)
Teori ini dikembangkan atau dianut oleh kaum logika positivistik yang di awali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang hendak dibuktikan kebenarannya telah memiliki derajat logik yang dapat dipertanggungjawabkan, dan, bahasa yang digunakan mengandung kebenaran logis yang di dalamnya telah saling melingkupinya (atau tanpa di jelaskan maknanya telah ditunjukkan oleh eksistensi objek, objek adalah object given (yang sifatnya actual being), dengan demikian, sesungguhnya semua orang telah memberikan informasi yang maknanya telah disepakati bersama. Dan apabila, akan dibuktikan lagi kebenarannya itulah suatu perbuatan yang sifatnya logis berlebihan. Sebagai contoh, pernyataan “salju putih” pernyataan ini tak perlu dibuktikan secara logis karena semua orang sepakat demikian. Atau, pernyataan “orang gundul tak berambut” semua orang sepakat bahwa orang gundul mesti tak berambut, sehingga apabila dibuktikan lagi kandungan kebenarannya maka itu tindakan logis berlebihan. Hal demikian, sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya itu telah mengacu pada fakta yang actual being atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1971).
• Teori Kebenaran Konsensus
Teori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas.Kriteria kebenaran menurut teori ini adalah persepakatan atau persetujuan yang dianggap rasional dari suatu perbincangan tertentu. Oleh karena itu, kebenaran yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku mutlak satu kali perbincangan untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun harus terbuka untuk diperbincangkan kembali.
Untuk dapat sampai pada suatu kebenaran yang bersifat kesepakatan atau konsensus harus dipenuhi syarat-syarat situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghin-darkan kesulitan yang mungkin timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa yang diperbincangkan situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles yang actual being/factual). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah (1) Semua peserta perbincangan harus diberi kesempatan yang sama untuk bicara seperti apa yang diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang sama untuk menafsirkan, menganjurkan, membenarkan, dan juga mempersoalkannya, (3) Semua peserta dituntut agar mengambil sikap komunikatif yang wajar yakni mengutarakan apa yang dipikirkannya dan betul-betul bermaksud menyampaikan pikiran-pikirannya kepada peserta lain; Dan, (4) Di antara peserta perbincangan tidak dibolehkan ada perbedaan wewenang atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi jalannya perbincangan.
Teori kebenaran konsensus ini pada tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori demokrasi pada saat melakukan perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak di anatara peserta perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan bersama dengan tidak memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena setiap hasil perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang publik yang terbuka.
• Teori Kebenaran Otoritarianis
Bertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini, kita dapat memilahkan bahwa masing-masing pernyataan memiliki nilai benar dengan bertumpu pada kewibawaan yang dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2) “saya percaya bahwa informasi yang disampaikan oleh pejabat Q adalah benar, serta (3) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh Ketua Suku saya adalah benar”. Ketiga pernyataan itu disampaikan kepada subjek, dan subjek menerimanya begitu saja tanpa kritis atau menggunakan logika yang rumit, karena pada dasarnya subjek menerima ke-3 informasi itu bertumpu pada kewibawaan yang melekat pada masing-masing subjek yang menyampaikan informasi kepada subjek mengetahui lain. Subjek pertama (1) adalah pemegang otoritas karena subjek memiliki kewibawaan material atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima informasi dari subjek pemegang otoritas material pada umumnya diterima karena subjek percaya pada kemampuan material yang melekat pada dirinya.Atau subjek menge-tahui; (2) mendapat informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas formal apakah ia pejabat formal atau subjek pemegang jabatan formal (struktural), dan (3) subjek memperoleh pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki kekuasaan untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat 3 macam otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik, contohnya Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang Ilmunya. (2) otoritas formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas fungsional, contoh, tetua suku, atau key person di dusun (tradisional).
Subjek yang memperoleh pengetahuan demikian dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya —walaupun mungkin subjek ragu terhadap informasi yang disampaikannya itu, namun pada umumnya subjek penerima berita dari salah satu atau ketiganya pemegang kewibawaan baik material, formal maupun fungsional.
Nah setelah sekian dari pemaparan mengenai sejumlah beberapa teori kebenaran yang ada, mulai dari teori-teori tentang kebenaran yang ada di era klasik hingga di era modern, pastilah memuncul banyak pertanyaan hingga nantinya akan bermuara kepada satu pertanyaan, yaitu “yang manakah kebenaran itu?”
Bagi penulis sendiri, benar apabila sesuatu yang nampak (posteriori) itu korespondensi antara ide/pemikiran dan realitas. Apabila ia tidak nampak, dalam artian tidak dapat di indrai (apriori) maka ia harus koherensi dengan nilai-nilai yang sudah terhukumi benar atau salahnya sebelumnya.
Sekian dari artikel ini. Wassalam.