Ada orang yang menyebut dirinya ideolog. Ada pula yang menyebut dirinya praktis dan pekerja hebat. Yang ideolog tentulah mengklaim dirinya idealis. Yang pekerja menyebut dirinya realistis. Absurd betul! Adalah sebuah miskonsepsi besar tatkala ada yang berupaya mendikotomikan sesuatu yang ideal dan sesuatu yang real. Seperti memisahkan kuah dengan mangkuknya. Seperti memisahkan sate dengan tusuknya. Lebih galat lagi, seseorang tersebut kemudian menamakan yang idealis sebagai “aktivis papan tulis” dan yang realistis-praktis sebagai “aktivis pergerakan”.
Sungguhlah kawan, idealitas dan realitas tidak boleh kita pisahkan. Seperti kata Murtadha Muthahhari, seorang yang paling teoritis seharusnya menjadi seorang yang paling praktis. Begitupun sebaliknya. Bukankah definisi kebenaran adalah korespondesi dan koherensi antara ide dan realitas? Maka, upaya memisahkan ide dan real adalah upaya yang tidak benar, tentunya.
Asal Muasal Ideologi
Ideologi secara etimologi berasal kata idieos yang berarti sesuatu yang ideal, dan logos yang berarti pengetahuan. Ideologi adalah pengetahuan manusia terhadap sesuatu yang sebagaimana mestinya (ideal). Pada ideologi tersebut sudah terdapat kaidah yang berisikan perintah mengenai apa yang harus dilakukan dan larangan mengenai apa yang tidak boleh dilakukan. Beberapa ideologi besar dunia seperti Kapitalisme dan Sosialisme-Komunis dalam bidang ekonomi, demokrasi Liberal dan Anarkisme dalam bidang politik.
Pertanyaanya kemudian, dari manakah datangnya suatu ideologi? Mengapa pula ideologi seseorang yang satu dengan ideologi seseorang yang lain dapat berbeda? Perbedaan ideologi dikarenakan perbedaan pandangan dunia. Dan akar dari segala perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan kecenderungan epistemologi (alat pengetahuan). Jika seseorang cenderung pada epistemologi indera, ia akan berpandangan dunia materi. Dan jika seseorang cenderung pada epistemologi akal, ia akan berpandangan dunia nonmateri. Maka, hanya akan tersisa dua doktrin filsafat, yaitu doktrin empiris yang bertumpu pada indera dan doktrin rasional yang bertumpu pada akal (Muhammad Baqir Ash-Shadr. Falsafatuna. 2014; hal 18).
Pandangan dunia adalah pengetahuan manusia terhadap sesuatu yang sebagaimana adanya. Singkatnya, cara pandang manusia tentang apakah sebenarnya hakikat dunia itu? Materikah? Atau justru nonmateri. Pandangan dunia sama halnya dengan filsafat teoritis. Sementara ideologi sama halnya dengan filsafat praktis. Filsafat teoritis adalah pengetahuan manusia tentang keberadaan sebagaimana hakikatnya. Filsafat praktis adalah pengetahuan manusia tentang apa yang semestinya dilakukan (Murtadha Muthahhari. Pengantar Filsafat Islam; Filsafat Teoritis dan Praktis. 2013; hal 113).
Pandangan dunia hanya terbagi dua. Di mana pandangan dunia materi terbagi lagi ke dalam pandangan dunia materi individualistis yang kemudian melahirkan ideologi kapitalisme serta demokrasi liberal, dan pandangan dunia materi sosialistis yang melahirkan ideologi komunis serta anarkisme. Pandangan dunia materi individualistis meyakini bahwa hanya individu yang real dan eksis. Sedang pandangan dunia materi sosialistis meyakini bahwa justru masyarakat (sosial) yang real dan eksis. Di sisi lain, pandangan dunia nonmateri yang meyakini bahwa hakikat dunia adalah sesuatu yang nonmateri (metafisika) melahirkan ideologi Pancasila.
Ideologi Pancasila
Pancasila sebagai suatu ideologi merupakan ideological compare dan ideological combine. Bukan hanya komparasi dan kombinasi antara kebaikan-kebaikan ideologi yang sudah ada, Ideologi Pancasila juga merupakan perasan sari dari nilai-nilai religius dan adat yang hidup dan berkembang sejak lami di bumi Nusantara ini. Jadi, Ideologi Pancasila merupakan substansi dari kebaikan-kebaikan ideologi yang sudah ada dan perasan sari dari nilai-nilai agama dan adat.
Dalam Sila Pertama, kita diperintahkan untuk mengesakan Tuhan dan dilarang untuk menjadikan Negara sebagai milik properti suatu agama atau keyakinan tertentu saja. Dalam Sila Kedua, kita diperintahkan memanusiakan manusia secara adil dan beradab dan dilarang melakukan upaya dehumaninasi yaitu perlakuan dzalim dan biadab. Dalam Sila Ketiga, kita diperintahkan untuk mendahulukan persatuan bangsa di atas golongan dan dilarang mengupayakan gerakan separatis dan upaya disintegrasi lainnya. Dalam Sila Keempat, kita diperintahkan untuk bermusyawarah secara hikmat dan bijaksana dan dilarang menjadikan pemungutan suara sebagai pilihan utama sembari menggeser musyawarah mufakat. Dalam Sila Kelima, kita diperintahkan untuk menjadikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan dan dilarang melakukan praktik monopoli demi kemakmuran pihak asing, pihak golongan dan dirinya sendiri.
Menurut Oetoyo Oesman, Pancasila sebagai ideologi dalam berbangsa dan bernegara mempunyai empat peran; Pertama, mempersatukan bangsa, memelihara dan mengukuhkan persatuan dan kesatuan. Kedua, membimbing dan mengarahkan bangsa menuju tujuannya. Ketiga,memberikan tekad untuk memelihara dan mengembangkan identitas Negara. Keempat, menyoroti kenyataan yang ada dan kritis terhadap upaya perwujudan cita-cita yang terkandung dalam Pancasila itu (Oetoyo Oesman, dkk. Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. 1992; hal 144).
Ideologi Aksi Pancasila: Seruan Untuk Beraksi
Sebelum beraksi, kita harus memantapkan studi atau pembelajaran kita terhadap apa yang nanti diaksikan. Seperti yang dicita-citakan oleh seorang Filosof berkebangsaan Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana, bahwa bangsa Indonesia hanya dapat menjadi bangsa yang sama-sama kuat dan percaya diri di antara bangsa-bangsa lain apabila mau belajar, bahkan rakus belajar, seperti Jepang dulu mau belajar. Jadi Indonesia tidak boleh puas diri, mengelus-elus nilainya dulu. Bangsa Indonesia tidak harus menjadi bangsa lain, tetapi harus setingkat dengan bangsa-bangsa lain; harus berubah, harus maju dan harus mampu berpikir seperti bangsa lain (Franz Magnis-Suseno.Pijar-Pijar Filsafat. 2005; hal 142).
Tidak cukup sampai di situ. Karena kita bukanlah ingin menjadi bangsa yang gemar belajar tapi enggan atau malas bertindak. Karenanya, kita harus implementasikan apa yang dipelajari, yaitu Pancasila. Impelementasi Pancasila akan melahirkan dua macam aktualisasi, subyektif dan obyektif. Aktualisasi Pancasila secara subyektif ialah menjadikan Pancasila sebagai dasar bertindak bagi setiap individu, warga Negara, penduduk, masyarakat, maupun aparat Negara. Sementara aktualisasi Pancasila secara obyektif adalah menjadikan Pancasila sebagai dasar atau sumber hukum positif di Indonesia (UUD, UU dan Putusan Pengadilan, penetapan GBHN, maupun urusan politik luar negeri. Perlu dipahami, bahwa aktualisasi Pancasila secara obyektif bergantung pada aktualisasi Pancasila secara subyektif (Kaelan. Filsafat Pancasila. 2002; hal 254).
Epilog
Pancasila hanya akan menjadi keluhuran di atas kertas (ideal), jika tidak didagingkan dalam perbuatan (real). Yang mengaku Pancasilais atau berideologi Pancasila haruslah melakukan implementasi terhadap nilai-nilai yang ada pada Pancasila. Inilah yang disebut realisasi ide. Dan yang mengaku telah mengamalkan Pancasila, harus selalu mengevaluasi pengamalannya tersebut. Apakah sudah sesuai nilai-nilai yang ada pada Pancasila atau malah melenceng. Inilah yang disebut idealiasi realitas. Dengan realiasi ide dan idealiasi realitas, tidak ada lagi jurang pemisah antara ide dan realitas. Dalami studi mengenai Pancasila (idealiasi realitas) dan aktualisasikan dalam perbuatan (realisasi ide), maka kita akan sampai pada Peradaban Pancasila. Bersiaplah!
#SalamIdeologiAksiPancasila
#SIAP